Repelita Jakarta – Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai proses hukum yang menjerat mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong sebagai bentuk membungkam lawan politik.
Feri menegaskan bahwa proses peradilan yang dihadapi Tom Lembong tidak lebih dari peradilan politik.
Ia berpendapat salah satu ciri peradilan politik adalah memaksa proses hukum agar menekan pihak oposisi.
Menurutnya, dalam peradilan politik, seseorang yang sebenarnya tidak bersalah dipaksakan menjadi bersalah oleh kekuasaan.
Feri mengungkapkan hal ini di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus Salemba, Jakarta Pusat, Senin (21/7).
Ia menilai penanganan perkara impor gula yang menyeret Tom sebagai wujud balas dendam politik, bukan penegakan hukum yang adil.
Feri menilai Tom sering mengkritik pemerintah dan berada di kubu berseberangan dengan penguasa saat Pilpres 2024.
Dalam Pilpres itu, Tom tercatat sebagai bagian dari tim sukses Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Ia menduga kasus lama sengaja dibuka lagi ketika posisi politik Tom dan Hasto melemah.
"Ini lebih mirip dendam ya. Begitu Tom Lembong dan Hasto tidak lagi di lingkaran kekuasaan dan kekuatan mereka secara politik melemah, maka mereka kemudian ditangkap, diambil, untuk kepentingan proses hukum," kata Feri.
Feri juga mempertanyakan mengapa kasus impor gula itu baru diproses setelah bertahun-tahun.
Padahal menurutnya, jika benar murni penegakan hukum, kasus itu semestinya ditangani sejak lama.
Ia menyebut, penanganan kasus lama yang baru diungkit menunjukkan adanya motif politik.
Feri menilai vonis terhadap Tom Lembong memperlihatkan kegagalan lembaga peradilan menjaga rasa keadilan.
Menurutnya, seharusnya pengadilan dapat menjawab keraguan publik bahwa putusan benar-benar adil.
Namun, ia menyebut pengadilan gagal menunjukkan hal tersebut.
Feri menyoroti keunikan putusan pengadilan yang menghukum Tom meski tidak terbukti menerima uang hasil korupsi.
Ia heran seseorang bisa dihukum tanpa adanya keuntungan pribadi dari kasus korupsi yang dituduhkan.
"Padahal, sifat alamiah tindakan koruptif itu adalah selain dia kejahatan bersama-sama, tidak mungkin sendirian, dia juga ingin mendapatkan keuntungan secara berjemaah juga," ujar Feri.
Ia menambahkan bahwa unsur niat jahat atau mens rea tidak terbukti dalam kasus ini.
Menurut Feri, tanpa niat jahat, seharusnya tidak ada unsur pidana.
Ia juga mengkritik penyidik dan jaksa yang dinilai terburu-buru membawa perkara ini ke pengadilan.
Feri mengingatkan, jika pemikiran ekonomi kapitalis dijadikan dasar pidana, maka banyak orang bisa terkena jerat hukum.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara kepada Tom Lembong.
Selain pidana penjara, Tom juga wajib membayar denda Rp 750 juta atau diganti kurungan enam bulan jika tidak dibayar.
Hakim tidak mewajibkan Tom membayar uang pengganti karena dinilai tidak menerima keuntungan dari perkara tersebut.
Majelis Hakim menyatakan Tom melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pihak Tom Lembong berencana mengajukan banding.
Sementara pihak jaksa masih mempertimbangkan langkah selanjutnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok