Edisi kali ini mengangkat isu perlindungan data pribadi warga. Isu ini menghangat lantaran makin banyak masyarakat yang menjadi korban penyalahgunaan data pribadi.
Tulisan pertama dan kedua mengangkat perspektif masyarakat. Bagian pertama berisi suara masyarakat yang hampir setiap hari dikirim pesan singkat maupun telepon yang menawarkan pinjaman, bahkan penipuan. Bagian kedua tentang seorang mahasiswa yang mengungkap praktik jual beli data kependudukan lewat media sosial.
Tulisan ketiga hingga keenam mengangkat perspektif Kementerian Komunikasi dan Informatika yang sekarang sedang menggodok Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi serta persoalannya. Kemudian tulisan keempat tentang dukungan Facebook terhadap regulasi, kelima sudut pandang Elsam dan sejumlah lembaga yang memiliki perhatian pada masalah ini.
Tulisan keenam berisi tentang dukungan anggota Dewan Perwakilan Rakyat terhadap RUU Perlindungan Data Pribadi. Mereka menunggu pemerintah segera menyerahkan draft supaya dapat segera dibahas dan disahkan. Tulisan terakhir berupa interview khusus dengan Muhammad Farhan, presenter yang baru terpilih menjadi anggota DPR. Dia menceritakan pengalamannya, termasuk anaknya, yang menjadi korban penyalahgunaan data pribadi.
***
* Dulu, Ani seringkali bingung sendiri, bagaimana perusahaan-perusahaan swasta hampir setiap hari bisa menghubungi untuk menawarkan pinjaman kepadanya.
* Ani sempat berprasangka buruk dengan operator penyedia layanan komunikasi bahwa mereka tidak serius melindungi data konsumen.
* Setiap tiga hari sekali, Rara juga mendapatkan SMS berisi penawaran. Tapi dia tidak meresponnya, bahkan segera menghapus pesan itu daripada mengotori memori telepon seluler.
***
Munculnya rupa-rupa modus penyalahgunaan data pribadi, terutama setelah kasus 540 juta informasi data pemakai Facebook bocor ke publik (1.096.666 di antaranya orang Indonesia), agaknya membuat pemerintah makin gerah.
Bahkan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat menjadi tersadar dan mereka mendorong eksekutif segera menyerahkan draft Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi biar bisa segera dibahas, lalu disahkan.
“Data pribadi itu adalah data yang nggak boleh orang tahu, hanya orang-orang tertentu aja. Melindungi data pribadi itu sangat penting, takutnya disalahgunakan. Terus sekarang itu gampang banget ambil data orang,” kata Variani Astuti seorang karyawati perusahaan yang bergerak di bidang media di Jakarta Selatan.
Dulu, Ani seringkali bingung sendiri tiap kali perusahaan-perusahaan swasta hampir setiap hari menghubungi untuk menawarkan pinjaman uang atau kredit kepadanya. Bahkan, bandit pun bisa leluasa mengontaknya untuk coba-coba menipu.
“Sering sih mendapatkan SMS penawaran pinjaman, terus minta pulsa. Kan kita nggak pernah tahu dia itu siapa. Yang saya bingung (ada yang bilang) ngomong kecelakaan, katanya saya saudaranya padahal saya sendiri gak tahu itu nomor siapa,” kata Ani.

“Sehari bisa dua kali, kalau dari telepon belum pernah. Ya kalau ada SMS itu gue diemin aja. Kalau makin dibales takutnya ada hal yang gak diinginkan. Apalagi saya ini orang awam gitu, kan takutnya disuruh apa aja mau,” Ani menambahkan.
Suatu malam, dia pernah dihubungi seseorang yang mengatasnamakan staf salah satu bank pelat merah. Orang itu mengatakan kalau orangtuanya baru saja memenangkan undian. Sebenarnya ketika itu Ani sudah menduga penelepon itu bandit, tetapi Ani pura-pura tidak tahu.
Bandit meminta Ani membayar semacam biaya administrasi untuk pengambilan hadiah, bahkan sampai mencoba memandu proses pengiriman uang.
“Orang yang mengatasnamakan dari bank itu mengatakan ibu saya dapat hadiah 10 juta rupiah. Saat itu modusnya hipnotis dari telepon, saya ladenin aja. Tapi saya tahu kalau itu adalah penipuan. Soalnya, saya heran kok dapat hadiah diumuminnya jam 11 malam, terus disuruh ke ATM terdekat buat transfer uang,” kata Ani.
Setelah mengalami kejadian demi kejadian, Ani pernah berprasangka buruk kepada operator penyedia layanan telekomunikasi. Dulu, mereka tidak serius melindungi data konsumen sehingga nomor konsumen bisa sampai ke tangan penipu. Bahkan, dia pernah mengira ada yang menjual data nomor telepon.
“Saya sih mengira provider kurang melindungi data kita atau mungkin bisa juga dijual sama mereka. Apalagi sekarang kan lagi marak, terus publik jadi panik soal penyalahgunaan data pribadi itu,” katanya.
Menurut Ani sekarang data pribadi warga semakin rentan disalahgunakan oleh pihak tak bertanggungjawab, terutama setelah ada media sosial.
Walau rentan terjadi penyalahgunaan, tidak dibarengi peningkatan kesadaran pengguna media sosial untuk melindungi kerahasiaan informasi pribadi di media sosial. Sebagian dari mereka cuek saja menampilkan data-data pribadi ke jejaring pertemanan.
“Mengupload foto di medsos dengan cara memilih siapa saja yang bisa melihat foto yang sudah saya upload. Kemudian lebih bijak aja sih menggunakan medsos nggak semuanya bisa kita tampilkan dan ada ranah privasi di dalamnya,” kata Ani.
“Jika tidak bijak dalam menggunakan media sosial bisa-bisa kita yang dirugikan. Misalnya foto kita digunakan untuk penipuan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, padahal itu bukan kita.”
Setali tiga uang dengan Ani, Adhika Eternalita, juga seringkali mendapatkan kiriman SMS berisi penawaran pinjaman dari perusahaan antah brantah.
“Sekitar seminggu sekalilah. Langsung gua hapus aja sih. Selagi nggak ngerugiin gue ya gue diemin aja,” kata Adhika.

Adhika curiga nomor teleponnya bisa sampai ke tangan perusahaan jasa pinjaman antah brantah lantaran ada kerjasama antara (sebagian) penjual voucher telepon dan mereka.
“Kadang gue mikir mereka dapat nomor gue darimana? Ah di counter-counter handphone kali atau apa gitu nomor gue diperjualbelikan, dijual gitu nomor gue, kan bisa aja,” kata Adhika.
Senada dengan Ani, demi mencegah terjadi penyalahgunaan data pribadi, Adhika juga menyarankan warga lebih selektif menyerahkan data ke pihak lain. Terutama kepada pengguna media sosial, disarankan jangan mengumbar informasi pribadi ke timeline, apalagi informasi tentang seluk beluk kehidupan pribadi.
“Kalau media sosial, ya paling gue upload dan dibagikan ke teman deket aja, yang berada di lingkaran gue aja,” kata Adhika.
Beberapa waktu yang lalu, saya bertemu jurnalis bernama Seruni Rara Jingga di dekat musala yang berada di lantai 1 gedung Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan, Jakarta Pusat. Dia juga memiliki keresahan yang sama terhadap keamanan data pribadi.
Seruni mengatakan data pribadi seperti nomor telepon seharusnya tidak disebarluaskan, kecuali memang pemiliknya secara sadar memberikan kepada orang lain.
“Hanya untuk orang-orang yang bisa mengakses itu kayak orang-orang yang terpercaya. Kayak misalnya di bank karena demi keamanan kita, kita tidak apa-apa memberikan data pribadi kita. Tapi kita juga berharap data kita jangan disebar-sebar,” ujar dia.
Untuk memproteksi penyalahgunaan nomor pribadi, biasanya setiap kali diminta seorang sales untuk mengisi formulir, dia pasti akan menuliskan nomor telepon yang salah.
“Kadang misalnya kayak kemarin kan saya membelikan ibu obat, sama salesnya diminta nomor handphone. Kadang saya mikirnya untuk data aja, tapi kadang juga itu mereka sales kan takutnya disebar lagi sesama sales. Nah nulis nomornya di salah-salahin gitu,” kata Seruni.
Dia sudah berhati-hati saja, tetap saja nomornya tak terlindungi. Setiap tiga hari sekali masih saja mendapatkan SMS berisi penawaran pinjaman atau promosi-promosi lainnya dari berbagai pihak. Tapi dia tidak pernah meresponnya, bahkan segera menghapus pesan itu agar tidak mengotori memori telepon seluler.
Dulu, Seruni pernah menanggapi penelepon tidak dikenal mencoba menipu dengan mengatakan telah memenangkan undian berhadiah. Seruni diminta memasukkan kode verifikasi sebagai syarat mengambil hadiah.

“Jadi ditelepon katanya saya dapat hadiah, tapi harus memasukkan kode verifikasi. Nah kalau orang nggak fokus kan bisa-bisa langsung dimasukin aja itu kan, sangat berbahaya. Macam-macam deh, di SMS apa lagi ya katanya dapat hadiah inilah, itulah,” kata Rara.
Seruni dapat membayangkan kenapa dulu salah satu teman kuliah bisa menjadi korban penipuan undian berhadiah. Hal itu terjadi karena dia kurang pengetahuan mengenai tipu-tipu lewat telepon sehingga menuruti semua instruksi bandit itu.
“Saya sih belum pernah terkena atau belum pernah terjerat sih, tetapi teman kuliah pernah. Jadi dia itu dapat SMS hadiah gitu dari Indomie. Udah saya jelasin itu penipuan, tapi dia terusin. Ya mungkin karena butuh uang juga jadi gampang tergoda. Karena orang butuh duit itu bakal gampang banget. Kedua, karena mereka nggak tahu soal yang begitu-begituan,” ujar dia.
Sekarang ini, kiriman SMS berisi iklan semakin masif. Bahkan, hampir setiap kali melewati area tertentu, pengguna telepon akan mendapatkan kiriman SMS secara otomatis.
Sebagaimana pertanyaan Ani dan Andhika, Seruni mula-mula juga heran mengenai bagaimana nomor pribadi bisa sampai ke tangan orang lain, apalagi bandit penipu.
“Mungkin dia dapat nomor saya ngasal, kayaknya ngasal sih. Kalau yang itu (iklan) tuh kayaknya dikasih atau dijual nomor kita. Tapi kalau yang menipu mereka itu nyebar semua nomor jadi kayak ngasal gitu,” katanya.
Seruni mengajak semua orang berhati-hati menyerahkan data pribadi ke orang lain, terutama ketika mengisi aplikasi internet.
Pengalaman Ani, Andhika, dan Seruni merupakan representasi dari pengalaman pemilik nomor telepon yang sering menerima SMS atau telepon dari pihak lain entah darimana mereka mendapatkan data pribadi.
***
Tempat penjualan voucher maupun pulsa telepon eceran dianggap oleh sejumlah narasumber yang saya temui menjadi salah satu yang ikut andil membuka pintu sehingga terjadi kebocoran data pribadi.
Saya mendatangi sejumlah pemilik kios untuk mencari tahu apa yang mereka lakukan setelah mendapatkan daftar nomor-nomor telepon pelanggan.
Sebagian pemilik kios mengaku nomor-nomor telepon yang tercatat dalam buku akan dibuang agar tidak terjadi penyalahgunaan data.
“Biasanya kita buang sih kalau sudah numpuk. Kalau diberikan ke orang lain ya nggak lah mas, kan itu nomor-nomor pelanggan kita, masa kita kasih orang,” kata pemilik kios.
Tetapi pemilik kios lain yang saya temui siang itu mengungkapkan bahwa ada petugas yang mengaku dari perusahaan riset setiap seminggu sekali datang untuk meminta data nomor telepon. Petugas tersebut mengatakan sedang melakukan survei terkait provider mana saja yang paling banyak dipakai orang.
Sebenarnya pemilik kios yang saya temui tidak benar-benar tahu apakah petugas itu betulan dari perusahaan riset. Biasanya, petugas mendatangi kios dan memberikan kertas khusus yang akan dipakai untuk menghimpun data pribadi pengguna telepon seluler yang menjadi pelanggan.

“Bukan hanya di counter sini aja, tapi biasanya perusahaan itu menerapkan hal yang sama ke counter lain kayak di sini,” kata pemilik kios yang enggan menyebutkan identitas diri.
Setiap kali menyerahkan kertas berisi penuh nomor telepon, petugas yang mengaku dari perusahaan riset memberikan hadiah-hadiah, seperti souvenir.
“Paling saya dikasih buku, barang-barang kayak souvenir gitu. Bukan, bukan berbentuk duit,” kata dia.
Pemilik kios tidak tahu apakah kegiatan pengumpulan nomor telepon semacam itu berkaitan dengan penyalahgunaan data pribadi atau tidak.
“Terakhir sebelum lebaran masih datang orangnya ke sini ngambil kertasnya. Tapi dari bulan Juni kertasnya gak diambil-ambil tuh,” kata dia sembari menunjukkan kertas berisi nomor telepon kepada saya.
***
Sudah banyak korban penyalahgunaan data pribadi di Indonesia. Salah satu contoh kasus yang masuk ranah hukum terjadi di Solo, Jawa Tengah.
Sejumlah warga, di antaranya YI, menjadi korban pelecehan. Orang-orang perusahaan itu membuat poster iklan “siap digilir” dan disebarkan ke media sosial. Kasus ini sekarang sudah bergulir di kantor polisi setelah YI lewat lawyer memperkarakannya.
Kasus itu terjadi gara-gara YI terlambat membayar ke perusahaan pinjaman online yang dulu memberikan penawaran pinjaman dan berbagai kemudahan lainnya.
“Ada yang sampai diancam untuk jual ginjal sebagai pelunasan utangnya. Dikata-katai dengan kata yang tidak pantas dan lain sebagainya. Tapi yang dibuat poster dan iklan kan menjual diri memang baru YI,” kata pengacara YI dari LBH Solo Raya, I Gede Sukadewa Putra, kepada koresponden AKURAT.CO, Wijayanti.
Sukadewa mengatakan sampai sekarang sudah ada 14 korban fintech yang mengadu ke LBH.
Kecemasan pemerintah maupun DPR mengenai penyalahgunaan data pribadi yang semakin sistematis dan masif memiliki alasan kuat. Secara khusus bagaimana perspektif pemerintah mencegah penyalahgunaan data pribadi dengan membuat Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi nanti akan disampaikan pada bagian tulisan berikutnya. [] akurat