Pengamat Sebut 93% Produk Toko Online Impor, Benarkah?

529

Jakarta – Startup e-commerce atau toko online Indonesia, Bukalapak dan Tokopedia,  sering mengklaim kehadiran mereka untuk membantu usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) bersaing dengan masuk ke dunia digital. Namun fakta membuktinya barang yang dijual di e-commerce dikuasai produk impor.

Peneliti INDEF Bhima Yudistira mengatakan data asosiasi e-commerce menunjukkan kecenderungan 93% barang yang dijual marketplace adalah barang impor. Artinya produk lokal hanya 7%.

Peneliti INDEF Ariyo Irhamna menduga maraknya barang impor di e-commerce dikarenakan derasnya investasi asing. Praktik investasinya lebih didominasi untuk “membuka toko” di dalam negeri bukan melakukan produksi dan ekspor.

“Banyak investasi yang masuk tidak berkualitas. Mayoritas investasi yang masuk ke Indonesia di dominasi olej perusahaan market-seeking (mencari pasar) dan resource-seeking (pencari bahan baku),” ujarnya

“Sayangnya tren perkembangan startup Indonesia tidak direspons oleh pemerintah dengan tepat sehingga banyak platform e-commerce didominasi oleh barang impor.”

Bhima Yudistira menambahkan pemerintah perlu memberdayakan UMKM di 75.000 desa untuk memasarkan produknya secara online dan syukur kalau bisa ekspor. Dana desa yang jumlahnya Rp 70 triliun per tahun bisa dimanfaatkan untuk BUMdes (adopsi Taobao Villages di China).

Selain itu, pemerintah perlu samakan aturan barang impor di retailer konvensional dan online. Sebelumnya sudah ada beberapa pembatasan produk impor melalui
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.04/2018 (PMK 112).

“Kebijakan tersebut memperkecil nominal ketentuan nilai bebas bea masuk dari USD 100 menjadi US$ 75 per hari. Tapi aturan itu belum cukup. Porsi barang impor di e-commerce harus diatur misalnya 70% harus menjual produk yg diproduksi lokal,” ujarnya., CNBC Indonesia

Berikan Komentar Anda

comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here