KontraS Salahkan Pernyataan Jokowi Soal Papua

630

JAKARTA – Koordinator KontraS Yati Andriyani menilai, pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal kerusuhan di Papua adalah sebuah kesalahan.

Menurutnya, ajakan Jokowi untuk meredam kemarahan masyarakat Papua sama sekali tak menyelesaikan persoalan yang ada.

“Cara presiden hanya dengan menyatakan mari kita saling memaafkan itu tidak cukup untuk menjawab persoalan-persoalan yang terjadi di Papua,” kata Yati Adriyani di kantor KontraS, Jakarta, Selasa (20/8/2019).

Seharusnya, kata Yati, Presiden menyampaikan permintaan maaf atas rasisme yang dilakukan terhadap warga Papua.

“Sebetulnya kami ingin presiden sebagai kepala negara meminta maaf terhadap aksi rasisme dan diskriminatif terhadap masyarakat Papua,” tegasnya.

Juga, meminta aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus penghinaan terhadap warga Papua yang terjadi di Surabaya dan Malang pada 17 Agustus 2019 lalu.

“Dan menyatakan bahwa siapapun yang terlibat dalam tindakan-tindakan tersebut harus dihukum, tapi (pernyataan) itu tidak ada,” lanjutnya.

Dia juga menyesalkan sikap presiden yang meminta warga Papua untuk memaafkan tindakan rasis ormas serta aparat penegak hukum di Surabaya dan Malang.

“Bahkan yang ada hanya mengajak masyarakat Papua saling memaafkan. Padahal warga Papua yang menjadi korban selama ini,” tegasnya lagi.

Menurutnya, pemerintah seharusnya mengedepankan tindakan persuasif dan dialog untuk mengatasi masalah ini.

Menurut Yati, tindakan aparat yang mengamankan mahasiswa Papua di Surabaya merupakan tindakan represif yang kemudian memicu kerusuhan di sejumlah wilayah di Papua Barat.

“Pendekatan-pendekatan persuasif, dialog harus dibuka, harus dilakukan. Tidak bisa dengan pendekatan keamanan yang tertutup, dengan pendekan penangkapan, penahanan,” ulasnya.

Berdasarkan hasil penelitian KontraS, tindak diskriminatif dan represif lebih sering terjadi kepada masyarakat Papua dibandingkan etnis lainnya.

Contoh diskriminatif paling jelas adalah pelarangan aksi mahasiswa Papua, baik di tanah Papua maupun di daerah-daerah lain.

“Persoalan ini semakin menunjukkan memang terkesan masih ada satu pembedaan terhadap masyarakat Papua karena ras mereka adalah Papua,” ucap Yati.

Yati meyakini, kerusuhan yang terjadi di Manokwari dan Sorong, merupakan bentuk akumulasi dari ketidakadilan yang dialami masyarakat Papua selama ini.

 

Aksi ricuh yang pecah ibarat bom waktu yang sudah saatnya meledak.

“Sekali lagi itu ada hubungannya dengan ketidakadilan tindak-tindakan diskriminatif kepada warga Papua. Saya rasa masyarakat Papua sudah sangat sabar selama ini,” ujar Yati.

(ruh/pojoksatu)

Berikan Komentar Anda

comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here