Pemerintahan Presiden Jokowi diserang tugas maha berat membasmi serbuan virus Covid 19 beserta turunannya yang konon jauh lebih ganas dan berefek lebih buruk pada manusia. Dalam hal ini insan rakyat Indonesia taruhannya.
Lebih 120 ribu nyawa rakyat meninggal dunia sama dengan satu juta dua ratus ribu lebih derai air mata mengalir bila per satu jiwa meninggal ditangisi sepuluh anggota keluarga atau kerabat dekat karena kematian terasa demikian tragis datangnya. Dan mencekam jutaan warga lainnya yang cemas akan akhir kisah pandemi ini.
Tak dapat dipungkiri bila cara penanganan ala PSBB dan PPKM yang berserial itu diluncurkan sejak pandemi terdeteksi singgah di tanah air tentu kisah pilu dan mencekam itu tak berlarut seperti saat ini. Pemakaman menjadi kehilangan makna perpisahan terakhir kalinya, bahkan yang dikremasi pun tak urung nestapa kesulitannya. Apa boleh buat ‘nasi telah jadi bubur’.
Dikematian warga itulah sesungguhnya cerminan seberapa besar nilai moralitas dan akhlak pemegang kekuasaan dirasakan dan sekaligus dinilai secara jujur oleh rakyat meskipun telah dibuat tidak berdaya dan pasrah oleh keadaan hasil sebuah kebijakan kepemimpinan model “berkacak pinggang”.
Terlewatkannya momentum emas penanganan yang lebih mudah disaat usia Indonesia 75 tahun tentu tak hanya perlu disesali belaka, tetapi menjadi peluang presiden disaat 76 tahun ini selaku penanggung jawab utama pelindung rakyat untuk menarik hikmah berjujur diri akan potensi yang dimilikinya dalam memimpin bangsa besar ini.
Presiden yang bersikap ksatria bangsa akan jauh lebih dikenang sebagai pemimpin yang patut dihormati ketimbang tercatat sebagai ahli janji manis yang disebut ‘king of lip service’ dimana begitu banyak harapan palsu ditebar tapi nyatanya “not found 404” Itu.
Sebelas ribu triliun yang diucapkan seorang presiden tentu berakibat jauh lebih ‘prank’ ketimbang oleh seorang pedagang mebel bila tak terbukti, misalnya. Seorang pemimpin bangsa sama sekali tak boleh berperan menjadi sosok PHP alias pemberi harapan palsu.
Maka ketika begitu banyak catatan sepak terjang presiden Jokowi yang tidak sama kata dengan fakta tentu rakyat patut menyadari adanya suatu kesalahan ‘leadership’ yang sangat serius dan menjurus membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara ini.
Bahkan ketua partainya pun mulai memberikan ‘warning’ atas kinerja ‘tambal sulam’ nya yang terasa minim keberpihakannya pada rakyat banyak alias wong cilik yang selalu digadang partainya.
Itulah sebabnya mengapa baliho “kepak sayap” beredar dimana-mana seakan menunjukan saatnya ‘terbang’ berpindah dan berganti kepemimpinan yang mampu menyelami ‘kebhinekaan’ Indonesia bukan berdasarkan kostum kedaerahan belaka setahun sekali, tapi juga ragam anak bangsa yang haram dipecah belah akibat lemahnya kepemimpinan yang terkesan dikendalikan dari bawahannya.
Bangsa mana yang bisa bangga manakala hampir setiap hari martabat presidennya terkoyak oleh ulah diri sendiri dan tim kerjanya yang tidak mumpuni untuk menunjukan kelas ‘menginjak bumi’ dalam menjawab dan berfakta setiap isyu politik dan sosial yang beredar di ruang publik.
Sungguh banyak catatan keprihatinan level berbahaya di usia 76 tahun ini apabila sumber utamanya tidak terselesaikan dengan sebaik-baiknya, yaitu melepaskan egoisme kekuasaan demi bangsanya…
Adian Radiatus