JAKARTA – Wasekjen Partai Gerindra Andre Rosiade melontarkan kritik kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait keputusa pemindahan ibukota.
Andre menyatakan, target pertumbuhan ekonomi tahun 2020 yang dipatok di angka 5,3 persen dianggap terlalu ambisius.
Apalagi, Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah menyampaikan kekhawatiran mengenai potensi resesi dunia.
Belum lagi jika menilik kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan pertama tahun 2019 sebesar 5,07 persen dan triwulan kedua 2019 yang hanya 5,05 persen.
Wasekjen DPP Partai Gerindra Andre Rosiade pun menganggap target pemerintah ekonomi tumbuh 5,3 persen terlalu mengada-ada.
“Menurut saya terlalu ambisius,” ujarnya di Kantor KPPU, Jalan Juanda, Jakarta Pusat, Senin (26/8).
Andre juga menilai kebijakan yang diambil pemerintah tidak sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi yang besar.
Salah satu yang disoroti adalah kebijakan pengetatan anggaran atau austerity yang dilakukan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Padahal kementerian dan lembaga harus mendapat dana segar agar bisa memacu kerja dan berpengaruh pada ekonomi bangsa.
Sementara di satu sisi, pemerintah nekat untuk memindahkan pusat pemerintahan ke luar Jakarta yang memakan dana ratusan triliunan rupiah.
“Pertanyaannya pertumbuhan ekonomi terus melambat, anggaran pemerintah dipotong, lalu resesi dan phk di depan mata, lalu kenapa dipaksakan ya pindah ibukota?” ungkapnya.
Tidak hanya itu, Andre juga menyoroti rencana pembelian mobil bagi pejabat setingkat menteri.
Bukan penggantian mobil yang dipermasalahkan anggota DPR terpilih itu, melainkan pemilihan mobil baru yang terlalu mahal.
“Saya orang mendukung untuk pembelian mobil dinas baru. Tapi ya tidak harus beli Toyata Royal Saloon, kan di atas satu miliar,” katanya.
“Silakan beli Innova aja, yang (tipe) venturer atau Toyota Camry saya rasa cukup representatif,” pungkas Andre.
Sebelumnya, ekonom Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal Hastiadi menyebut yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa jadi penipuan terbesar dalam sejarah Indonesia.
Ia menyatakan, pemindagan ibukota semestinya tidak dipandang dari sisi ekonomi saja. Menurutnya, pemindahan ibukota itu juga akan memberikan dampak lain.
Demikian disampaikan Fithra Faisal Hastiadi di Kantor Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPES), Matraman, Jakarta Timur, Senin (26/8/2019).
“Kita bicara bukan faktor ekonomi saja tapi faktor non-ekonomi. Ketika kita pindah, bukan hanya dampak ekonomi yang tercipta,” ingatnya dikutip PojokSatu.id dari RMOL.
Salah satunya adalah dampak sosial dimana Kalimantan Timur akan didatangi banyak pendatang dari Jakarta.
“Tapi dampak sosialnya seperti apa? Akan ada clash ethnic, belum dihitung,” katanya.
“Pendatang baru kita berbindong-bondong, ratusan orang bahkan ribuan orang, bahkan puluhan ribu orang ASN dibedol ke sana semua,” lanjutnya.
Dampak sosial juga harus diperhatikan serius agar tidak terjadi permasalahan baru.
“Itu bagaimana dengan kondisi hubungan antar etnik? Hubungan antar orang di sana?” gugat Fithra.
Selain itu, dampak lingkungan juga harus diperhatikan. Ia memberi contoh Brazil yang sengaja membakar hutan Amazon untuk menambah produksi sapi.
“Kita mau masuk ke Kalimantan Timur. Kalimantan secara umum adalah paru-paru dunia. Ini kan juga jadi masalah,” jelasnya.
Atas dasar tersebut, tegasnya, yang semestinya juga dipikirkan bukan hanya faktor ekonomi.
“Makanya kalau kita bicara menghitung, tidak hanya ekonomi, tapi juga faktor-faktor non-ekonomi yang harus dipertimbangkan,” tegasnya.
Karena itu, rencana Jokowi memindahkan ibukota dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur dengan janji-janji pertumbuhannya merupakan kebohongan terbesar dalam sejarah Indonesia.
“Saya melihat pindah ibu kota ini adalah the greatest hoax in history,” katanya.