Repelita Jakarta – Kejaksaan Agung Republik Indonesia resmi menaikkan status kasus dugaan korupsi ekspor palm oil mill effluent (POME) atau limbah minyak kelapa sawit tahun 2022 ke tahap penyidikan, dengan penggeledahan dilakukan di lebih dari lima titik strategis.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriyatna, menyampaikan bahwa penggeledahan dilakukan di sejumlah lokasi, termasuk Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta rumah pribadi milik pejabat terkait, sebagaimana dikonfirmasi pada Sabtu, 1 November 2025.
Anang menjelaskan bahwa barang bukti berupa dokumen-dokumen penting telah diamankan dari lokasi penggeledahan yang tersebar di wilayah Jakarta dan beberapa daerah lainnya di luar ibu kota.
Ia menambahkan bahwa proses penyidikan juga telah melibatkan pemeriksaan terhadap lebih dari sepuluh orang saksi yang diduga mengetahui atau terlibat dalam praktik ekspor POME yang menjadi objek perkara.
Dalam wawancara terpisah, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewo mengungkap bahwa praktik lancung di sektor pajak dan kepabeanan telah berlangsung lama dan nyaris tak tersentuh, bahkan mendapat perlindungan dari pihak-pihak tertentu.
Purbaya mengaku terkejut saat berdialog dengan Jaksa Agung dan mengetahui bahwa sebelumnya ada kebiasaan untuk tidak menindak aparat pajak atau cukai yang melakukan pelanggaran demi menjaga stabilitas penerimaan negara.
Ia menegaskan bahwa semua pihak harus tunduk pada hukum, dan tidak ada lagi perlindungan bagi pegawai yang terbukti melakukan pelanggaran, sementara aparat yang bekerja jujur akan dilindungi sepenuhnya.
Menurut Purbaya, praktik impunitas tersebut menciptakan moral hazard yang memperparah budaya korupsi di birokrasi fiskal, karena aparat merasa aman untuk berbuat salah tanpa konsekuensi hukum.
Ia menyatakan bahwa reformasi kelembagaan di sektor perpajakan dan kepabeanan menjadi prioritas untuk memulihkan integritas aparatur dan memperkuat sistem pengawasan internal.
Sementara itu, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2024 menunjukkan adanya kelemahan serius dalam pengelolaan pengawasan dan audit di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai selama periode 2021–2023.
BPK mencatat belum adanya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur tata cara pelayanan dan pengawasan terhadap pengangkutan Barang Tertentu dalam daerah pabean, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Kepabeanan.
Kekosongan regulasi tersebut dinilai membuka peluang terjadinya penyalahgunaan dan penyelundupan barang antar pulau melalui modus pengangkutan yang tidak terawasi secara sistematis.
Selain itu, BPK juga menyoroti lemahnya pendokumentasian Kertas Kerja Audit (KKA) di lingkungan DJBC, termasuk tidak lengkapnya dokumen pendukung dan belum adanya pedoman penyusunan KKA yang baku.
Kelemahan administrasi tersebut membuat Laporan Hasil Audit tidak dapat dievaluasi secara optimal dan tidak dapat dijadikan acuan untuk audit berikutnya, sehingga berpotensi menghambat upaya pengawasan yang efektif.
BPK merekomendasikan agar Menteri Keuangan segera menetapkan PMK yang mengatur tata cara pelayanan dan pengawasan terhadap pengangkutan Barang Tertentu dalam daerah pabean, serta menyusun pedoman penatausahaan KKA yang komprehensif.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

