
Repelita Jakarta - Pengamat politik Adi Prayitno menilai bahwa keputusan Projo untuk tidak bertransformasi menjadi partai politik merupakan hal yang wajar dan dapat dimengerti.
Menurutnya, terdapat kerumitan mendasar yang membuat organisasi relawan politik seperti Projo sulit menapaki jalur formal politik elektoral.
“Secara teori dan prinsip, relawan politik itu bagus. Mereka bisa menggarap hal-hal yang selama ini tidak dilakukan oleh partai politik,” ujar Adi melalui kanal Youtube miliknya, Selasa, 4 November 2025.
Namun, ia menekankan bahwa persoalan muncul ketika relawan mulai dikaitkan dengan kepentingan politik elektoral.
Adi menilai bahwa kekuatan politik relawan seperti Projo sulit diukur secara konkret dan terstruktur.
“Kalau mau mengukur kekuatan partai politik kan gampang, lihat apakah lolos parlemen. Tapi bagaimana cara mengukur kekuatan relawan politik seperti Projo? Jumlah anggotanya berapa, partisipatorisnya berapa? Ini yang saya sebut rancu,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa partai politik memiliki instrumen yang jelas untuk menilai kekuatan, yaitu keterwakilan di parlemen, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Sedangkan relawan tidak memiliki tolok ukur serupa yang dapat digunakan untuk menilai soliditas dan efektivitas mesin politiknya.
“Untuk mengukur relawan politik, apakah mereka solid dan punya mesin yang kredibel untuk memenangkan pertarungan, itu rumit,” katanya.
Adi menduga bahwa kerumitan tersebut menjadi alasan utama mengapa Projo berhati-hati untuk berubah menjadi partai politik.
Selain persoalan struktur dan soliditas organisasi, tantangan terbesar adalah lolos dalam kontestasi pemilu.
“Ngajak orang menjadi bagian dari partai, dari struktur politik tertentu, hari ini sangat rumit. Maka sekalipun muncul partai baru tiap pemilu, banyak yang tidak bisa lolos ke parlemen,” ujarnya.
“Mungkin ini yang dipertimbangkan Projo. Kalau jadi partai, jangan-jangan tidak lolos ikut pemilu. Sekalinya ikut, bisa jadi tidak lolos ke parlemen,” tutup Adi Prayitno. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

