
Repelita Jakarta - Komisaris Independen Kilang Pertamina Internasional, Prabu Revolusi, menyampaikan pandangannya terkait proyek kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh yang belakangan kembali menjadi sorotan publik.
Ia menegaskan bahwa Whoosh bukan semata soal untung rugi, melainkan tentang konektivitas, efisiensi waktu, dan mendekatkan jarak antarwilayah.
“Saya ini pengguna Whoosh. Setiap kali ada tugas ke Bandung, saya pilih Whoosh daripada menggunakan kendaraan sendiri. Lebih cepat, efisien, dan bikin perjalanan terasa ringan. Anak saya sekarang kuliah di Bandung, dan sekarang bisa pulang ke Jakarta setiap minggu,” tulis Prabu melalui akun Instagram pribadinya pada Selasa, 4 November 2025.
Prabu menyebut sejak mulai beroperasi pada Oktober 2023, Whoosh telah melayani lebih dari 10 juta penumpang, dengan rekor harian mencapai 25 ribu pengguna.
Namun, proyek ini kembali disorot karena beban utang investasi yang disebut mencapai sekitar Rp116 triliun.
Ia mempertanyakan apakah proyek infrastruktur publik selama ini harus selalu diukur dengan kalkulasi bisnis jangka pendek.
“Proyek gak untung katanya, ada juga yang bilang proyek utang gede. Pertanyaannya adalah apakah selama ini proyek infrastruktur publik selalu diukur hanya dengan kalkulator bisnis jangka pendek saja?” ujarnya.
Prabu mendukung pernyataan Menteri Keuangan Purbaya yang menyebut bahwa Whoosh merupakan investasi sosial, bukan semata proyek bisnis, melainkan infrastruktur untuk mendorong pembangunan wilayah.
Ia menekankan pentingnya peran pemerintah pusat dan daerah dalam membangun pusat-pusat ekonomi di sekitar stasiun Whoosh agar nilai ekonominya ikut tumbuh.
Selain itu, ia menyarankan agar Whoosh segera mengembangkan sumber pendapatan non tiket seperti iklan, pusat kuliner, ruang bisnis, dan sektor kreatif lainnya.
Menurutnya, seperti halnya bioskop, pendapatan tertinggi bukan berasal dari tiket, melainkan dari makanan dan minuman.
“Saya rasa, publik akan sangat tepat untuk mendorong, mengawal dan mungkin mengkritisi bagaimana pengembangan pusat ekonomi di sekitar Whoosh agar segera diakselerasi,” ungkapnya.
Ia juga membandingkan proyek Whoosh dengan kereta cepat di luar negeri seperti Shinkansen di Jepang, TGV di Prancis, dan Amtrak di Amerika Serikat yang juga tidak langsung menghasilkan keuntungan.
Banyak dari proyek tersebut membutuhkan waktu lebih dari satu dekade untuk menutup investasi awal, namun tetap dijalankan karena melayani kepentingan publik jauh lebih penting daripada sekadar laba jangka pendek.
“Kalau semua proyek pelayanan publik harus untung di awal, mungkin jalan tol tidak akan sepesat ini dibangun, jaringan internet atau data tidak akan masif masuk ke daerah, atau juga tipikal proyek infrastruktur pelayanan publik lainnya akan enggan dibangun seperti MRT, LRT dan lainnya,” paparnya.
“Jadi, mungkin yang perlu kita ubah bukan proyeknya, tapi cara kita menilainya,” tutup Prabu yang juga dikenal sebagai presenter berita dan dosen. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

