Repelita Banyumas - Fenomena meningkatnya perilaku penyimpangan seksual dan komunitas LGBT di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, menjadi perhatian serius Majelis Ulama Indonesia (MUI) Banyumas serta kalangan akademisi dan praktisi sosial dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.
Ketua Komisi Dakwah, Ukhuwah, dan Pengembangan Masyarakat MUI Banyumas, Mohamad Aminudin, menyampaikan keprihatinannya terhadap perkembangan kasus tersebut dalam Musyawarah Kerja MUI Banyumas yang digelar pada akhir Oktober 2025.
Ia menyebut bahwa fenomena LGBT bukan hal baru di Banyumas. Sekitar satu tahun lalu, Penjabat Bupati Banyumas, Hanung, pernah mengungkapkan bahwa jumlah pelaku LGBT di wilayah tersebut mencapai sekitar 2.000 orang, dengan konsentrasi kasus terbanyak di Purwokerto Selatan.
Mohamad Aminudin menegaskan bahwa fenomena LGBT kini tidak hanya muncul di kalangan dewasa, tetapi juga mulai merambah ke lingkungan pelajar dan dikhawatirkan menjangkiti aparatur pemerintahan.
Menurutnya, para dai, mubaligh, dan ustadz memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk meningkatkan kesadaran masyarakat melalui dakwah dan kegiatan keagamaan.
Ia mengajak seluruh elemen umat, khususnya para dai dan mubaligh, untuk menjadikan isu ini sebagai perhatian utama dan berperan aktif dalam membimbing serta mencari solusi atas persoalan sosial keagamaan tersebut.
Sebagai langkah konkret, MUI Banyumas mendorong lembaga pendidikan, masjid, dan instansi pemerintah untuk kembali menggiatkan kegiatan keagamaan seperti pengajian dan majelis taklim.
Menurutnya, kegiatan semacam itu efektif sebagai sarana pembinaan moral dan penguatan nilai-nilai keimanan di tengah masyarakat.
Menanggapi isu yang sama, Dr. Tri Wuryaningsih, dosen Sosiologi dari FISIP Unsoed sekaligus praktisi sosial, menilai bahwa maraknya fenomena LGBT juga dipengaruhi oleh perubahan sosial dan budaya masyarakat modern yang semakin permisif.
Ia menjelaskan bahwa di era digital saat ini, orientasi seksual dianggap sebagai urusan pribadi, sehingga sikap masyarakat yang cenderung tidak peduli memberi ruang bagi kelompok LGBT untuk berkembang.
Tri Wuryaningsih menilai bahwa perilaku LGBT tidak hanya bertentangan dengan norma agama dan sosial, tetapi juga berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat, seperti meningkatnya risiko penularan HIV/AIDS.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa kecenderungan menjadi LGBT lebih sering disebabkan oleh faktor lingkungan dan pergaulan, bukan bawaan genetik.
Ia menjelaskan bahwa banyak kasus muncul akibat pengaruh media sosial dan aplikasi tertentu yang memfasilitasi pertemanan dengan orientasi seksual yang sama.
Karena itu, ia mengimbau para orang tua untuk lebih waspada dan terlibat aktif dalam pengawasan pergaulan anak-anak mereka.
Tri Wuryaningsih menekankan bahwa pembahasan LGBT tidak hanya terkait dengan hak asasi manusia, tetapi juga harus dilihat dari sisi sosial, budaya, dan nilai-nilai moral agama.
Ia berharap MUI Banyumas dapat memperkuat kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk media massa dan lembaga pendidikan, untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya dan dampak sosial dari perilaku menyimpang tersebut.
Menurutnya, edukasi publik sangat penting dan MUI Banyumas tidak bisa bekerja sendiri. Diperlukan sinergi antara tokoh agama, akademisi, media, dan masyarakat agar upaya pencegahan dapat berjalan secara berkesinambungan.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

