Oleh Rina Syafri
Pernyataan wartawan senior, Edy Mulyadi, yang berbunyi “Guardian bilang IKN kota hantu, mereka dipenjara juga gak, nih?” bukanlah sekadar keluhan, tapi bentuk kritik terhadap standar ganda dalam penegakan hukum atas kebebasan berpendapat.
Edy Mulyadi pernah diproses hukum karena menyebut IKN sebagai “tempat jin buang anak.” Ia mempertanyakan, jika media asing seperti The Guardian menyebut IKN sebagai “ghost city,” mengapa tidak ada konsekuensi hukum serupa? Apakah hukum hanya tajam ke dalam dan tumpul ke luar?
Pertanyaan ini sah dan layak dijawab secara jernih. Dalam demokrasi, kritik terhadap kebijakan publik adalah hak warga negara. Jika istilah “kota hantu” digunakan oleh media internasional untuk menggambarkan kondisi pembangunan yang sepi dan belum hidup, maka istilah “tempat jin buang anak” pun bisa dilihat sebagai bentuk ekspresi yang menggambarkan kekhawatiran terhadap lokasi dan dampak proyek.
Yang perlu diuji bukan siapa yang bicara, tapi bagaimana hukum merespons secara adil. Apakah konteks, niat, dan dampak sosial dari pernyataan itu benar-benar berbeda? Ataukah ada standar ganda yang membuat kritik dari warga lokal lebih mudah dipidana dibanding kritik dari luar negeri?
Edy Mulyadi tidak sedang menyudutkan siapa pun. Ia sedang menuntut konsistensi. Jika kritik terhadap IKN dianggap sah, maka semua bentuk kritik seharusnya diperlakukan dengan proporsional. Jika ada yang diproses hukum, maka semua yang melanggar batas yang sama harus diproses pula. Jika tidak, maka hukum kehilangan wibawanya.
Opini ini bukan pembelaan terhadap satu orang, tapi panggilan untuk introspeksi. Demokrasi tidak akan sehat jika kritik dibungkam, apalagi secara selektif. Negara harus menjawab kritik dengan data, bukan dengan ancaman. Dan hukum harus berdiri di atas keadilan, bukan di bawah tekanan politik atau opini publik. (*)

