
Repelita Jakarta – Dalam waktu kurang dari dua bulan menjabat, Menteri Keuangan Purbaya Yudhiawan telah meluncurkan serangkaian kebijakan yang dinilai sebagai antitesis dari pendekatan ekonomi pemerintahan sebelumnya.
Langkah-langkah tersebut dinilai pro-rakyat kecil dan berani membongkar akar persoalan struktural, sehingga membangkitkan harapan publik sekaligus memicu kegelisahan di kalangan tertentu.
Ekonom dari Lingkar Studi Perjuangan, Gede Sandra, menyebut kebijakan Purbaya sejalan dengan visi ekonomi konstitusional yang diusung Presiden Prabowo Subianto.
Kita melihat sedang terjadi dialektika yang cukup tajam dalam paradigma ekonomi kita di tahun pertama pemerintahan ini. Kebijakan Pak Purbaya adalah antitesis dari kebijakan terdahulu.
Dalam diskusi daring Madilog Forum Keadilan TV pada Selasa, 4 November 2025, Sandra memaparkan sejumlah gebrakan Purbaya yang dinilai mengguncang status quo.
Kebijakan tersebut antara lain mencakup suntikan dana ke Bank Himbara untuk mendorong kredit, penolakan kenaikan cukai tembakau demi melindungi lapangan kerja, serta penolakan membayar utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung yang dinilai merugikan negara.
Purbaya juga mengungkap dana daerah sebesar Rp233 triliun yang mengendap di perbankan dan menghambat pembangunan, serta menggulirkan wacana penghapusan pajak penghasilan di bawah Rp10 juta per bulan untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Selain itu, ia menyatakan perang terhadap impor ilegal seperti pakaian bekas dan rokok asing demi melindungi industri dan tenaga kerja dalam negeri.
Kebijakan-kebijakan ini memiliki elemen terpenting dari ekonomi kerakyatan. Dia memberikan ruang bertumbuh untuk orang bawah dan menjaga lapangan kerja.
Namun, di balik gebrakan tersebut, Sandra menilai Purbaya masih berjuang sendirian tanpa dukungan solid dari tim ekonomi pemerintah.
Kalau emang benar terjadi seperti ini, kita sangat prihatin. Seharusnya seluruh tim ekonomi berkolaborasi dengan solid untuk mem-backup gebrakan Menteri Keuangan.
Untuk memperkuat posisi Purbaya, Sandra mendorong Presiden Prabowo menambah sosok-sosok berani dalam kabinet, seperti mantan Menteri ESDM Ignasius Jonan dan ekonom Hendri Saparini.
Ajib banget kalau Pak Jonan ditarik. Kita butuh 5 sampai 10 orang seperti Pak Purbaya, tapi itu agak berat. Duet Purbaya–Jonan akan sangat bagus untuk menggebrak pelaku-pelaku curang.
Sandra juga menyoroti keresahan kelompok yang ia sebut sebagai “serakahnomic”, yakni mereka yang telah sangat kaya namun tetap rakus menguasai sumber daya.
Kelompok-kelompok yang terguncang inilah yang paling merasa di era Pak Purbaya, dominasinya mulai terganggu satu per satu.
Ia mengutip data ketimpangan global yang menunjukkan bahwa 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 47 persen kekayaan nasional, sementara 40 persen penduduk termiskin hanya menguasai 13 persen.
Pak Purbaya lagi mau coba perbaiki itu. Jadi wajar jika yang resah adalah mereka yang selama ini mengumpulkan terlalu banyak kapital.
Sandra menekankan pentingnya pengungkapan dana daerah yang mengendap sebagai ujian bagi birokrasi dan pemerintah daerah.
Dana Rp4,7 triliun di Kalimantan Selatan saja, jika diserap, bisa menumbuhkan PDRB 3,8 persen sampai 5,6 persen. Ini sangat besar.
Ia menduga pengendapan dana tersebut berkaitan dengan motif mengejar bunga deposito, yang nilainya tidak sebanding dengan manfaat ekonomi jika dana itu digunakan untuk pembangunan.
Sandra mendesak BPK dan KPK untuk mengaudit pengelolaan dana daerah tersebut secara menyeluruh.
Harusnya ini tidak menjadi polemik. Pemda harusnya berterima kasih dan segera menyerapkan dananya, bukan malah membalas. Ini ujian bagi birokrasi kita.
Meski menghadapi tekanan dan tantangan, Sandra menegaskan bahwa Purbaya berada di jalur yang benar dan layak mendapat dukungan publik untuk mewujudkan ekonomi yang lebih berdaulat dan adil.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

