Repelita Jakarta – Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Fadli Zon menyatakan tidak ada bukti yang menunjukkan keterlibatan mantan Presiden Soeharto dalam peristiwa genosida tahun 1965–1966.
Pernyataan tersebut disampaikan Fadli Zon sebagai respons terhadap kritik dari Guru Besar Filsafat Franz Magnis Suseno yang menolak usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
Ya, apa faktanya apa? Ada yang berani menyatakan fakta? Mana buktinya? Kan kita bicara sejarah dan fakta, dan data gitu. Ada enggak? Enggak ada kan?
Fadli Zon menyampaikan hal itu di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Rabu, 5 November 2025.
Ia menegaskan bahwa Soeharto telah memenuhi seluruh persyaratan administratif dan historis untuk menerima gelar Pahlawan Nasional.
Untuk nama-nama itu memang semuanya seperti saya bilang itu memenuhi syarat ya, termasuk nama Presiden Soeharto itu sudah tiga kali bahkan diusulkan ya.
Fadli menyebut bahwa nama Soeharto sebelumnya telah diusulkan pada tahun 2011 dan 2015, dan seluruh prosesnya telah melalui kajian mendalam.
Menurut Fadli, usulan tersebut tidak hanya berasal dari Dewan GTK, tetapi juga dari pemerintah daerah dan telah dikaji oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP).
TP2GP terdiri dari sejarawan, akademisi, tokoh agama, dan aktivis yang menelaah kelayakan setiap calon penerima gelar.
Fadli Zon menyebut bahwa Dewan GTK menerima 49 nama calon pahlawan nasional dari Kementerian Sosial, sembilan di antaranya merupakan nama yang pernah diusulkan sebelumnya.
Dari total tersebut, Dewan GTK menyeleksi 24 nama sebagai prioritas, namun Fadli tidak menyebut apakah nama Soeharto termasuk di dalamnya.
Sementara itu, dalam diskusi publik di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Franz Magnis Suseno menyampaikan penolakannya terhadap usulan gelar tersebut.
Soeharto melakukan korupsi besar-besaran. Dia memperkaya keluarga, orang lain, orang dekatnya, memperkaya diri sendiri. Itu bukan Pahlawan nasional.
Franz Magnis menilai bahwa seorang pahlawan harus bekerja tanpa pamrih untuk kemajuan bangsa dan tidak mengutamakan keuntungan pribadi.
Bagi saya itu alasan sangat kuat bahwa jangan dijadikan Pahlawan Nasional.
Ia juga menyoroti dugaan pelanggaran etika dan kejahatan yang dilakukan Soeharto, termasuk keterlibatannya dalam peristiwa pembantaian massal pasca-1965.
Tidak bisa disangka bahwa Soeharto paling bertanggung jawab atas genosida 1 dari 5 genosida terbesar di abad ke-20 yaitu pembunuhan setelah 1965 dan 1966. Ada 800 korban. Menurut Sarwo Edi ada 3 juta jiwa.
Meski demikian, Franz Magnis mengakui bahwa Soeharto memiliki kontribusi dalam pemulihan ekonomi Indonesia pasca-Orde Lama dan dalam pembentukan ASEAN.
Namun, menurutnya kontribusi tersebut tidak cukup untuk menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
Franz Magnis menegaskan bahwa gelar tersebut harus diberikan kepada tokoh yang tidak memiliki rekam jejak pelanggaran berat terhadap etika dan kemanusiaan.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

