Repelita Jakarta - Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, publik mulai mempertanyakan kontribusi nyata dari sosok wakil presiden termuda dalam sejarah Indonesia.
Mantan Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin, menyampaikan kritik terhadap peran Gibran yang dinilai belum mencerminkan kepemimpinan kenegaraan yang sepadan dengan jabatannya.
Ia menyatakan bahwa Presiden Prabowo aktif di panggung dunia, menjalin diplomasi dan menghadiri forum internasional, sementara Gibran justru lebih sering tampil dalam kegiatan seremonial seperti membagikan sembako, memotong pita, berswafoto, dan berdiskusi di pos kamling.
Menurut Didi, kegiatan tersebut memang baik, namun terlalu sederhana untuk jabatan wakil presiden yang seharusnya memiliki peran strategis dalam pemerintahan dan pengambilan keputusan nasional.
Didi juga menyinggung proses menuju kursi wapres yang menyisakan dugaan rekayasa hukum dan etika politik, terutama terkait perubahan batas usia calon yang dinilai menguntungkan Gibran secara personal.
Ia mempertanyakan apakah konstitusi dijaga untuk kepentingan rakyat atau justru dijahit untuk kepentingan keluarga, meski sah secara hukum namun meninggalkan luka dalam rasa keadilan publik.
Setahun berlalu, Didi menilai publik belum melihat portofolio kebijakan yang jelas dari Gibran, dan menegaskan bahwa negara tidak dikelola dengan punchline atau pose foto, melainkan dengan garis kebijakan dan keputusan besar.
Ia menyebut bahwa peran wakil presiden saat ini masih sebatas simbol dan belum naik ke level kepemimpinan kenegaraan yang seharusnya dijalankan secara aktif dan substansial.
Didi membandingkan dengan para wapres terdahulu yang memiliki kontribusi nyata seperti Hatta dalam ekonomi rakyat, Habibie di bidang teknologi, Jusuf Kalla dalam perdamaian, Adam Malik di diplomasi, Boediono menjaga fiskal, Tri Sutrisno dalam transisi, dan Hamengkubuwono IX dalam pengabdian.
Ia menegaskan bahwa mereka berdiri sejajar dengan presiden, bukan sekadar pengiring kekuasaan, dan meninggalkan jejak kontribusi yang tercatat dalam sejarah bangsa.
Menurutnya, sejarah tidak mencatat siapa yang paling muda menjabat, tetapi siapa yang paling banyak bekerja dan memberikan dampak nyata bagi negara.
Didi menyampaikan bahwa kini saatnya Gibran membuktikan diri sebagai pemimpin sejati, bukan sekadar pewaris posisi, agar tidak dikenang karena diam di tengah hiruk-pikuk bangsa.
Ia menutup dengan pernyataan bahwa jika Gibran gagal menunjukkan karya, maka publik hanya akan mengingatnya sebagai sosok yang tidak berkontribusi dalam masa krusial pemerintahan. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

