
Repelita Jakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menilai langkah Kejaksaan Agung dalam mengekspose penyerahan uang hasil korupsi minyak sawit mentah atau CPO kepada negara dapat menjadi momentum penting untuk membenahi sistem administrasi di Indonesia.
Menurut Jimly, keterbukaan Kejaksaan Agung dalam menyampaikan kepada publik merupakan langkah positif yang bisa menjadi pengingat bagi semua pihak terkait banyaknya barang sitaan negara yang selama ini tidak jelas keberadaannya.
“Selama ini, sudah berpuluh-puluh tahun banyak sekali barang sitaan negara berupa uang, kendaraan, tanah, hingga kapal yang tidak diketahui nasibnya. Itu bukan hanya di kejaksaan, tapi juga di kepolisian dan imigrasi. Misalnya, kapal yang disita karena pelanggaran, itu sekarang ada di mana?” ujar Jimly.
Jimly menekankan perlunya reformasi besar dalam sistem administrasi penegakan hukum. Ia menyebut, selama ini praktik penyitaan yang dilakukan aparat di berbagai daerah belum dikelola dengan baik dan transparan.
“Kasus ini harus menjadi titik awal pembenahan, bukan hanya untuk satu lembaga. Tapi seluruh sektor penegak hukum di Indonesia harus ikut berbenah,” tegasnya.
Ia juga menyoroti banyaknya barang sitaan, mulai dari mobil, barang impor ilegal, hingga narkoba, yang tidak jelas tindak lanjutnya setelah disita.
“Semua itu harus ditelusuri. Mobil disita, narkoba disita, barang impor disita. Ke mana semua barang itu? Ini harus dijawab secara terbuka,” kata mantan anggota DPD RI tersebut.
Jimly menyebut, pengembalian kerugian negara sebesar Rp13,25 triliun dari kasus korupsi CPO merupakan momentum besar untuk melakukan reformasi dan modernisasi tata kelola pemerintahan.
Ia menilai, perbaikan sistem administrasi di seluruh sektor adalah keharusan agar penyelenggaraan negara berjalan efektif dan akuntabel.
“Perlu pembaruan menyeluruh dalam sistem administrasi pemerintahan. Sekarang sudah saatnya semua data terintegrasi dan berbasis sistem informasi,” ujarnya.
Dengan sistem yang terintegrasi, lanjut Jimly, seluruh aset sitaan negara dari berbagai lembaga bisa dipantau secara real-time.
“Kalau sistemnya digital dan terhubung, semua bisa diketahui. Termasuk narkoba, betul tidak dibakar atau malah dijual lagi? Kalau dijual, siapa yang menjual dan untuk siapa hasilnya?” ucapnya.
Jimly mengatakan, langkah Kejaksaan Agung mengembalikan uang hasil korupsi CPO kepada negara patut diapresiasi karena bisa membuka ruang untuk mengaudit kembali seluruh barang sitaan di institusi penegak hukum lainnya.
Namun ia mengingatkan, apresiasi tidak boleh membuat publik abai terhadap kemungkinan adanya persoalan serupa di lingkungan kejaksaan sendiri.
“Kita perlu bersyukur, tapi jangan buru-buru memuji. Karena di lingkungan kejaksaan juga banyak sitaan yang belum tentu jelas pengelolaannya. Tapi yang kemarin dilakukan itu membuka mata kita semua,” kata mantan Ketua Umum ICMI tersebut.
Selain di bidang penegakan hukum, Jimly juga menyoroti lemahnya sistem administrasi di sektor pendidikan.
Ia mencontohkan maraknya kasus ijazah palsu yang bahkan sering menjadi bahan sengketa dalam politik dan peradilan.
“Dari tahun 2004 sampai 2024, banyak perkara di Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan ijazah. Dalam perkara sengketa pilkada terakhir, dari sekitar seratus kasus, ada 40 yang masuk persidangan, dan tujuh di antaranya menyangkut ijazah,” ungkap Jimly.
Ia menilai fenomena tersebut menggambarkan rapuhnya sistem administrasi pendidikan dan menjadi bukti bahwa ijazah sering dijadikan alat politik untuk menjatuhkan lawan.
“Ini menunjukkan betapa buruknya administrasi perijazahan kita. Ini harus segera dibenahi agar tidak menjadi instrumen politik yang merusak,” tutupnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

