
Repelita Jakarta – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengakui bahwa sistem inti administrasi perpajakan atau Coretax yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak masih mengalami berbagai gangguan teknis.
Dalam konferensi pers di Kantor Pusat Kementerian Keuangan pada Jumat 24 Oktober 2025, Purbaya menyebut bahwa sistem tersebut belum berjalan sempurna dan kerap mengalami kendala seperti time out, gagal login, serta gangguan saat pengguna mencoba melanjutkan pekerjaan.
Ia menilai bahwa kualitas perangkat lunak yang dikembangkan oleh konsorsium LG CNS–Qualysoft asal Korea Selatan tergolong buruk dan tidak sesuai dengan standar yang dibutuhkan.
Purbaya bahkan menyebut bahwa hasil kerja vendor tersebut hanya selevel lulusan sekolah menengah atas, berdasarkan penilaian tim teknis internal yang telah meninjau source code sistem.
Menurutnya, bagian depan dan tengah sistem masih dapat diperbaiki, namun komponen inti yang dikembangkan LG CNS sulit ditangani karena kualitasnya rendah.
Purbaya menjelaskan bahwa proses perbaikan tidak bisa dilakukan secara cepat karena pemerintah belum memiliki akses penuh terhadap sistem akibat kontrak yang mengikat dengan vendor asing.
Ia menyatakan bahwa sistem tersebut dibangun selama empat tahun dengan berbagai kendala, dan optimistis perbaikan dapat diselesaikan pada Januari atau Februari 2026 setelah akses diberikan sepenuhnya kepada tim teknis Kemenkeu.
Purbaya menambahkan bahwa infrastruktur yang tersedia sudah sangat memadai dan tinggal dimaksimalkan pemanfaatannya untuk mendukung sistem perpajakan nasional.
Namun, Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan, menilai bahwa pernyataan Purbaya hanya menyentuh permukaan masalah dan tidak menyentuh akar persoalan proyek Coretax.
Rinto menyebut bahwa kesalahan utama terletak pada urutan kebijakan sejak awal proyek, di mana teknologi asing dibeli terlebih dahulu sebelum proses bisnis dan regulasi dibangun.
Ia menilai bahwa penerapan sistem Commercial Off The Shelf (COTS) tanpa adaptasi lokal menyebabkan sistem sulit berjalan stabil dan tidak sesuai dengan konteks perpajakan Indonesia.
Rinto menambahkan bahwa sistem yang dibeli tidak memahami kebutuhan lokal, namun tetap dipaksakan demi mengejar target proyek.
Sementara itu, Direktur PT Enygma Solusi Negeri, Erick Karya, menyebut bahwa klaim Purbaya terlalu menyederhanakan persoalan teknis yang kompleks.
Menurut Erick, source code yang akan diberikan oleh LG CNS kemungkinan hanya berupa recode parsial dan bukan keseluruhan sistem, sehingga tidak menjamin perbaikan menyeluruh.
Ia menegaskan bahwa vendor asing tidak akan menyerahkan kontrol penuh tanpa klausul pembatasan yang ketat dalam kontrak kerja sama.
Erick juga menyoroti ketergantungan pemerintah terhadap teknologi asing sebagai ancaman terhadap kedaulatan digital nasional.
Ia menyatakan bahwa selama source code tidak sepenuhnya dikuasai, maka pemerintah hanya berperan sebagai pengguna, bukan pemilik sistem inti perpajakan.
Kasus Coretax dinilai memperlihatkan paradoks dalam upaya digitalisasi birokrasi Indonesia, yang justru menyingkap ketergantungan struktural terhadap teknologi luar negeri.
IWPI menyimpulkan bahwa pesimisme publik terhadap kemampuan Kementerian Keuangan dalam memperbaiki Coretax sangat beralasan.
Tanpa perubahan mendasar dalam pengelolaan proyek digital pemerintah, IWPI menilai bahwa masalah serupa akan terus berulang di masa mendatang.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

