Repelita Jakarta - Respons Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kasus dugaan korupsi proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh dinilai belum menunjukkan keseriusan dalam menjalankan fungsi pemberantasan korupsi.
Pengamat dari Citra Institute, Efriza, menyampaikan bahwa pernyataan KPK yang mengklaim telah memeriksa sejak lama justru terkesan normatif dan tidak konsisten.
Ia menilai komunikasi KPK lebih bertujuan meredakan tekanan publik daripada menunjukkan langkah konkret dalam penindakan hukum.
“KPK mencoba menunjukkan peduli dari pernyataan sudah memeriksa sejak lama. Komunikasi KPK ini diyakini sekadar meredakan tuntutan publik, dan sayangnya pernyataannya normatif juga tidak konsisten,” ujar Efriza di Jakarta, Rabu, 29 Oktober 2025.
Menurut dosen ilmu pemerintahan Universitas Pamulang itu, KPK seharusnya mulai menelusuri proses pengambilan keputusan dalam pembangunan proyek Whoosh, termasuk potensi korupsi melalui dugaan mark-up anggaran oleh pejabat negara.
Ia menyoroti bahwa nama Presiden ke-7 RI Joko Widodo dan mantan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sempat mencuat di publik sebagai pihak yang disebut-sebut dalam kasus tersebut.
“KPK semestinya sudah mulai menelusuri fakta pengambilan keputusan untuk pembangunan Whoosh, juga menelusuri potensi korupsi dugaan mark-up anggaran yang dilakukan oleh pejabat negara,” tuturnya.
Efriza menegaskan bahwa jika pengusutan kasus Whoosh tidak dilakukan secara serius, maka kepercayaan publik terhadap KPK akan semakin menurun.
Ia menyebut bahwa KPK berisiko kehilangan legitimasi sebagai lembaga penegak hukum yang adil dan dapat diandalkan dalam pemberantasan korupsi.
“Jika KPK tidak punya nyali, berisiko KPK akan kehilangan kepercayaan publik dan semakin dianggap tidak bersifat adil dalam penelusuran dugaan korupsi,” katanya.
“Bahkan, KPK akan dinilai gagal memberikan keyakinan publik sebagai lembaga pemberantasan korupsi yang dapat diandalkan,” pungkas Efriza (*).
Editor: 91224 R-ID Elok

