Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Denny Siregar Soroti Tekanan Psikologis Silfester Matutina: Kebayang Gak Sih Perasaannya Sekarang

 Kasus Peretasan Data Pribadinya Belum Usai, Denny Siregar Tuntut Telkomsel Rp 1 Triliun - Malang Times

Repelita Jakarta - Sutradara sekaligus pegiat media sosial Denny Siregar menanggapi langkah Komisi Kejaksaan RI yang mendesak Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan agar segera mengeksekusi Silfester Matutina tanpa penundaan lebih lanjut.

Denny menggambarkan tekanan psikologis yang mungkin tengah dialami oleh Silfester setelah munculnya perintah eksekusi tersebut.

Dalam unggahannya di Facebook pada Jumat, 31 Oktober 2025, Denny menuliskan bahwa hidup dalam pelarian dan ketakutan bukanlah sesuatu yang bisa dinikmati, meskipun secara fisik seseorang masih bebas.

Ia menyebut bahwa kondisi seperti itu membuat seseorang tidak bisa makan dengan tenang, tidur nyenyak, atau keluar rumah karena takut dikenali.

Menurut Denny, situasi tersebut tak ubahnya seperti hukuman penjara, hanya saja tanpa jeruji besi yang membatasi ruang gerak secara fisik.

Ia menambahkan bahwa hidup dalam persembunyian setiap hari akan menimbulkan rasa bosan dan keterasingan, termasuk tidak bisa bertemu keluarga.

Denny juga menyinggung momen menjelang Natal yang biasanya menjadi waktu berkumpul bersama keluarga besar, dan menyebut bahwa Silfester kemungkinan besar tidak akan bisa merayakannya bersama orang-orang terdekat.

Ia menutup pernyataannya dengan pertanyaan retoris tentang apakah ada orang yang rela menerima uang banyak namun harus menjalani hidup seperti Silfester.

Sementara itu, pengacara Roy Suryo, Ahmad Khozinudin, menyampaikan kritik tajam kepada Kejaksaan Agung terkait belum dieksekusinya Silfester Matutina yang merupakan terpidana kasus korupsi.

Ahmad menyebut bahwa pernyataan Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, yang meminta kuasa hukum Silfester agar menghadirkan kliennya untuk dieksekusi merupakan bentuk ketidakberdayaan negara.

Ia menilai bahwa negara dengan segala sumber daya yang dimiliki justru terlihat kalah oleh seorang terpidana, dan menyebut sikap Kejagung sebagai bentuk permohonan yang memalukan.

Ahmad juga menyindir bahwa Kejaksaan lebih berani menghadapi masyarakat kecil dibandingkan menindak terpidana yang memiliki pengaruh besar.

Ia menekankan bahwa Kejaksaan memiliki kewenangan untuk mengerahkan seluruh aparatnya dalam memburu Silfester, dan tidak seharusnya hanya menunjukkan ketegasan terhadap kasus-kasus kecil.

Lebih lanjut, Ahmad mendesak agar Kejagung menindak pihak-pihak yang diduga menghalangi proses eksekusi dengan menggunakan instrumen hukum pidana Obstruction of Justice.

Ia menuding adanya perlindungan kuat di balik belum dieksekusinya Silfester, dan menyatakan bahwa jaksa intelijen seharusnya sudah mengetahui posisi terpidana tersebut.

Menurut Ahmad, kondisi ini menunjukkan bahwa negara telah kalah dan tunduk pada seorang terpidana, serta menggambarkan bahwa kekuasaan dan uang lebih dominan daripada hukum.

Ia bahkan menyebut bahwa pendekatan hukum biasa mungkin sudah tidak cukup untuk menjerat Silfester, dan menyarankan penggunaan metode alternatif yang disebut sebagai Metode Nepal.

Ahmad menutup pernyataannya dengan menyampaikan bahwa di Indonesia, hukum sebagai panglima hanya menjadi slogan, sementara kenyataannya kekuasaan dan uanglah yang mengendalikan arah keadilan.(*)

Editor: 91224 R-ID Elok

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

ads bottom

Copyright © 2023 - Repelita.com | All Right Reserved