
Repelita Jakarta - Wacana perubahan mekanisme pemilihan wakil presiden kembali mengemuka dan memicu perdebatan publik.
Salah satu opsi yang mencuat adalah agar wakil presiden tidak lagi dipilih secara bersamaan dengan presiden dalam pemilu, melainkan ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berdasarkan nama calon yang diusulkan oleh presiden terpilih.
1. Pendapat Tamil Selvan
Komunikolog politik Tamil Selvan mendukung usulan tersebut.
Menurutnya, mekanisme itu dapat mengurangi praktik politik transaksional yang kerap terjadi saat pembentukan koalisi sebelum pemilihan umum.
"Ketika presiden yang memilih para calon (wapres)-nya untuk kemudian nantinya dipilih di MPR saya kira ini hal benar.
Kenapa? Tentu ini akan memangkas atau kira-kira mengurangi tindakan-tindakan transaksional yang selalu terjadi (dalam Pilpres)," ujar Tamil melalui sambungan telepon, Minggu, 6 Juli 2025.
Ia juga berpendapat bahwa peluang politik uang akan mengecil jika MPR hanya menetapkan calon dari presiden terpilih.
"Ketika pemimpin tertingginya (presiden) melakukan hal seperti itu maka saya yakin MPR tidak akan berani untuk membuka pintu-pintu transaksional," lanjutnya.
Sebagai akademisi Universitas Dian Nusantara, ia melihat skema ini berpotensi mendukung efektivitas pemerintahan karena presiden bisa memilih pendamping yang sejalan visi dan strateginya.
"Ini hal baik karena tujuannya baik.
Dan kemudian untuk apa? Untuk membawa roda pemerintahan kita ini lebih baik, lebih cepat, dan kemudian menuju Indonesia Emas 2045 yang kita nanti-nanti," ucapnya.
2. Dukungan Jimly dan Relevansi Usulan
Gagasan ini sebelumnya diusulkan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie.
Jimly menyampaikan bahwa sistem yang diusulkan tetap mempertahankan pemilihan langsung untuk presiden, namun memberikan ruang bagi presiden terpilih untuk mengajukan satu atau dua nama calon wapres ke MPR.
MPR kemudian yang akan memilih dan menetapkan dari usulan tersebut.
3. Tanggapan Bambang Soesatyo
Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Bambang Soesatyo, menyambut positif ide tersebut.
Ia menyatakan usulan Jimly relevan dengan aturan baru yang menghapus ambang batas 20 persen pencalonan presiden.
Dengan begitu, peluang munculnya lebih dari tiga calon presiden menjadi terbuka, tanpa keharusan membentuk koalisi partai sebelum pemilu.
"Di tengah tuntutan demokratisasi yang lebih substansial dan kebutuhan akan stabilitas pemerintahan yang kuat, pemisahan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dapat menjadi solusi atas sejumlah problem sistemik dalam praktik demokrasi elektoral kita," ujarnya.
Ia menilai tekanan kompromi politik dalam pencalonan pasangan capres-cawapres kerap mendistorsi arah kepemimpinan nasional.
Pernyataan tersebut disampaikan saat peluncuran buku *Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945* di Kantor Kompas, Jakarta, Jumat, 4 Juli 2025. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok