Repelita Jakarta - Pakar politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Burhanuddin Muhtadi, mengingatkan bahaya pengkultusan politik terhadap tokoh publik seperti Dedi Mulyadi.
Pernyataan ini ia sampaikan dalam program Gaspol yang tayang di kanal YouTube Kompas.com pada Minggu, 6 Juli 2025.
Burhanuddin menegaskan bahwa meski Dedi merupakan sosok populer dengan jutaan pengikut di berbagai platform media sosial, pendukungnya tetap harus menyadari bahwa Dedi adalah pejabat publik, bukan figur suci.
“Buat pendukung Dedi Mulyadi juga harus menerima kenyataan bahwa Pak Dedi Mulyadi itu pejabat publik bukan nabi,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa semakin sering seorang tokoh tampil dan berinteraksi di ruang publik, semakin tinggi pula potensi terjadinya kesalahan ucap.
“Kalo orang terlalu sering terekspos, bicara, mengeluarkan statement, bertemu dengan kelompok-kelompok yang tidak setuju dengannya, itu sedikit banyak kan pasti ada slip of tongue ya, ada keseleo lidah, ada mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mungkin tidak perlu gitu,” kata Burhanuddin.
Menurutnya, risiko politik yang ditanggung akibat ucapan yang tidak tepat sangat besar bagi seorang politisi.
“Karena politisi sekali mengeluarkan pernyataan yang bisa jadi bumerang itu, wah ongkosnya gede.”
Burhanuddin juga mencermati bahwa sejauh ini pendukung Dedi di media sosial masih sangat militan membela setiap pernyataan sang tokoh.
Namun, ia berharap jangan sampai terjadi fenomena pengkultusan politik yang justru mengancam demokrasi.
“Nah sejauh ini mungkin pembela Dedi Mulyadi di medsos masih banyak.”
“Tapi lagi-lagi saya berharap jangan sampai terjadi pengkultusan. Kita harus belajar banyak ya dari sebelumnya. Jadi jangan terjadi semacam political cult,” ucapnya.
Salah satu contoh kontroversial yang ia sebutkan adalah ketika Dedi mengirim siswa bermasalah ke barak militer untuk didisiplinkan.
Kebijakan ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan aktivis seperti Rocky Gerung.
Burhanuddin menilai kritik tersebut wajar dan tidak seharusnya diserang oleh para pendukung.
“Ya kan ada pendukungnya yang kurang terima ketika ada kritik misalnya berkaitan dengan pengiriman siswa ke barak. Menurut saya kritik dari KPAI, kritik dari Rocky Gerung soal biopower itu legitimate itu ya.”
“Ini kan urusan publik. Jangan kemudian apa yang dilakukan oleh Dedi Mulyadi pasti benar, yang dikritik oleh pihak lain pasti salah,” tegasnya.
Burhanuddin juga mengungkapkan bahwa ada pejabat lain yang merasa enggan berbicara karena takut diserang pendukung Dedi.
Ia menyebut salah satunya adalah Gubernur Lemhannas, TB Ace Hasan Syadzily.
“Karena tanda-tanda itu ada jadi saya mengingatkan.”
“Ada ini, beberapa teman saya, misalnya Gubernur Lemhannas Pak TB Ace Hasan Syadzily, karena dulu teman kuliah saya, mengkritik Dedi Mulyadi kemudian dibully.”
“Akhirnya pada takut bicara,” tutur Burhanuddin.
Sebagai penutup, Burhanuddin mengajak masyarakat untuk belajar dari pengalaman masa lalu saat pengkultusan politik terhadap Jokowi mulai berkembang.
Ia mencontohkan bagaimana mantan Wali Kota Solo, Gubernur DKI, hingga Presiden RI itu sempat dipuja secara berlebihan.
“Karena kan kita sudah belajar dari pengalaman sebelumnya. Pengkultusan itu buruk buat demokrasi.”
“Kan muncul misalnya zaman Pak Jokowi. Waktu 2012 pertama kali terpilih sebagai Gubernur Jakarta. Kemudian 2014 maju presiden. Bahkan sampai 2019 pun itu masih ada sebagian kawan saya yang melihat Pak Jokowi itu bahkan kemarin ada kader PSI yang menyebut Pak Jokowi enggak kalah seperti nabi gitu kan,” jelasnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok.