Repelita Jenewa - Laporan terbaru yang dipresentasikan oleh Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia, memantik kegemparan global.
Dalam forum resmi di Kantor PBB Jenewa pada Kamis, 3 Juli 2025, sebanyak 48 perusahaan multinasional dituduh terlibat langsung dalam aksi pendudukan dan genosida yang dilakukan Israel di Jalur Gaza.
Di antara perusahaan yang disorot, muncul nama-nama besar seperti Microsoft, Alphabet Inc, Amazon, hingga Lockheed Martin.
Mereka disebut bukan sekadar mendukung, tetapi menjadi bagian dari operasi militer Israel yang dianggap melanggar hukum internasional.
Laporan itu menyebut kawasan pendudukan telah dijadikan ladang eksperimen oleh industri teknologi dan senjata besar dunia, tanpa pengawasan ketat dan tanpa pertanggungjawaban.
"Perusahaan-perusahaan ini kini menyatu dengan ekonomi genosida," tulis laporan tersebut, mengacu pada agresi militer Israel sejak Oktober 2023.
Rincian temuan PBB ini menyasar banyak sektor.
Lockheed Martin, bersama lebih dari 1.600 perusahaan dari delapan negara, terlibat dalam rantai suplai jet tempur F-35 untuk Israel.
Perusahaan seperti Leonardo S.p.A dari Italia dan FANUC dari Jepang juga tercantum dalam daftar penyedia dukungan persenjataan.
Di bidang teknologi informasi, Microsoft, Amazon, dan Google diduga menyuplai teknologi komputasi awan dan kecerdasan buatan.
Teknologi tersebut memperkuat sistem pengawasan dan pemantauan biometrik terhadap rakyat Palestina.
IBM disebut ikut melatih militer dan intelijen Israel, serta mengelola basis data imigrasi mereka.
Sementara Palantir Technologies disorot karena teknologi prediktif yang digunakan dalam operasi militer otomatis, termasuk sistem berbasis AI seperti Lavender dan Gospel.
Daftar tak berhenti di sektor militer dan teknologi.
Perusahaan alat berat seperti Caterpillar, Volvo, dan HD Hyundai diduga menyuplai mesin untuk penghancuran rumah warga Palestina.
Platform penyewaan seperti Airbnb dan Booking.com tetap mencantumkan properti di kawasan pendudukan yang dinilai ilegal.
Perusahaan energi seperti Drummond Company dan Glencore juga terseret karena menyuplai bahan bakar batu bara bagi pembangkit listrik Israel.
Dalam laporan itu, bahkan industri susu turut disorot.
Bright Dairy & Food dari Tiongkok disebut beroperasi di tanah Palestina melalui kepemilikan mayoritas oleh Tnuva, perusahaan Israel.
Netafim, produsen teknologi irigasi yang sahamnya dikuasai Orbia Advance Corporation dari Meksiko, juga dituduh memfasilitasi eksploitasi air di wilayah pendudukan.
Laporan ini juga menyingkap jaringan finansial yang menopang seluruh aktivitas tersebut.
BlackRock dan Vanguard, dua raksasa investasi asal Amerika Serikat, menjadi pemodal utama bagi berbagai perusahaan yang tercantum.
BlackRock memiliki saham besar di Palantir, Microsoft, Amazon, dan Lockheed Martin.
Sementara Vanguard menguasai portofolio serupa, termasuk menjadi pemegang saham terbesar kedua di Elbit Systems, produsen senjata asal Israel.
Dalam situasi konflik yang memburuk, laporan PBB menyebut telah terjadi lonjakan drastis dalam ekonomi militer Israel.
Anggaran pertahanan Israel naik 65 persen dari tahun 2023 ke 2024.
Bursa saham Tel Aviv pun melonjak 179 persen, menambah nilai kapitalisasi hingga US$157,9 miliar.
Perusahaan asuransi global seperti Allianz dan AXA juga dicatat memiliki investasi signifikan dalam saham serta surat utang yang terhubung dengan pendudukan.
Albanese menegaskan bahwa perusahaan swasta tidak bisa bersembunyi di balik kelalaian negara.
Ia menyerukan agar semua entitas korporat menilai kembali aktivitas dan mitra bisnis mereka, demi mencegah keterlibatan dalam pelanggaran hak asasi manusia.
Dengan laporan ini, sorotan dunia semakin tajam terhadap hubungan erat antara kekuatan bisnis dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Palestina. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok.