Repelita Jakarta - Tangisan Ketua Majelis Hakim saat membacakan vonis kasus korupsi besar-besaran di pengadilan Tipikor memicu banyak perbincangan soal integritas dan penegakan hukum.
Pakar hukum dari Universitas Al-Azhar, Prof. Suparji Ahmad, menyatakan bahwa momen tersebut mencerminkan kedalaman rasa keprihatinan para hakim terhadap rusaknya marwah lembaga peradilan akibat korupsi.
Hakim itu adalah pejabat negara yang dimuliakan, wakil Tuhan di dunia.
Harus menjauhkan diri dari perilaku keserakahan.
Kasus korupsi yang diputus dengan vonis 16 tahun penjara dan nilai kerugian negara mencapai Rp 1 triliun dinilai masih menyisakan pertanyaan soal efektivitas hukuman.
Menurut Prof. Suparji, efek jera belum maksimal karena praktik korupsi masih terus berlangsung meski banyak pelaku sudah dijebloskan ke penjara.
Yang bisa memberikan efek jera sebenarnya adalah kesadaran diri serta hukuman yang tidak hanya berupa penjara tapi juga perampasan aset sehingga koruptor benar-benar kehilangan hartanya.
Terkait kenaikan gaji hakim hingga 280 persen yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto, Prof. Suparji menilai langkah itu bisa membantu, tetapi bukan jalan satu-satunya.
Integritas tumbuh dari kesadaran sendiri.
Kalau sudah sadar, tidak perlu pengawasan berlebihan.
Ia juga menyinggung pentingnya segera mengesahkan RUU Perampasan Aset yang hingga kini belum diselesaikan di DPR.
Tanpa tindakan nyata, political will hanya akan menjadi retorika.
Pemberantasan korupsi tidak hanya soal memenjarakan orang tapi juga memulihkan kerugian negara.
Ia menekankan bahwa akar dari korupsi adalah kerakusan, dan itu hanya bisa dipangkas dengan kerja bersama.
Kenaikan gaji bukan obat mujarab, tetapi harus disertai pendidikan integritas dan pengawasan ketat.
Prof. Suparji berharap pemerintah bersama DPR segera bertindak menyelesaikan RUU tersebut serta memperkuat sistem hukum agar pengadilan kembali menjadi institusi yang dipercaya masyarakat. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok