Repelita Jakarta - Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah, Ridho Al-Hamdi, menyampaikan peringatan keras terhadap rencana TNI AD merekrut 24 ribu tamtama untuk membentuk Batalion Teritorial Pembangunan.
Menurutnya, langkah ini berpotensi membatasi ruang sipil dan bisa membuka kembali praktik dwifungsi militer.
Ridho menekankan perlunya kajian mendalam atas keberadaan pasukan TNI hingga ke tingkat kampung.
“Tentu ini perlu membuat kajian lebih lanjut, dampak dari adanya rencana pembentukan Batalion Teritorial Pembangunan di titik-titik kampung di berbagai macam posisi,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa kehadiran militer di wilayah sipil bisa memunculkan tumpang tindih fungsi antara TNI dan masyarakat.
"Jangan sampai lahirnya batalion ini membuat kemudian peran TNI atau militer menguat di daerah-daerah, sehingga mengambil peran-peran sipil,” tambahnya.
Kekhawatiran lain yang disampaikan adalah potensi kontrol militer atas ruang publik, yang selama ini menjadi arena penting bagi partisipasi masyarakat dan demokrasi.
Ridho juga menyoroti bahaya penyalahgunaan wewenang jika pasukan tersebut dijadikan tameng untuk aktivitas ilegal.
"Jangan sampai misal, tamtama TNI ini menjadi semacam beking atas praktik-praktik yang seharusnya itu dinyatakan ilegal,” tandasnya.
Sebagai Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Ridho meminta agar pemerintah tidak tergesa-gesa dalam menerapkan kebijakan ini.
Ia menilai, pelibatan pemangku kepentingan sangat penting agar tidak muncul kebijakan yang bertentangan dengan prinsip demokrasi.
“Saya kira pemerintah jangan terburu-buru. Perlu mengundang dan melibatkan berbagai stakeholder, tidak hanya dari pemerintah, tapi juga dari tokoh agama, dari pengamat, akademisi, termasuk dari masyarakat sipil, untuk membicarakan hal-hal tersebut,” ucapnya.
Ia juga menegaskan bahwa bayang-bayang kembalinya dwifungsi ABRI bisa menjadi kenyataan jika kebijakan ini diterapkan tanpa evaluasi serius.
“Sehingga jangan sampai militer atau dwifungsi ABRI, dwifungsi TNI ini kembali dihidupkan dan justru semakin membahayakan masyarakat sipil, jangan sampai,” tegas Ridho.
Ia menutup dengan menekankan pentingnya evaluasi dampak jangka panjang, bukan hanya melihat dari sisi gagasan.
"Jangan sampai dampaknya ini meluas. Kita harus melihat dampak, karena kalau tidak dilihat dampaknya, hanya karena gagasan, A, B, C, D tapi kemudian praktiknya buruk, ini merupakan kebijakan yang tidak baik. Maka pemerintah harus membuat kajian mendalam, sampai pada kajian dampaknya seperti apa,” kuncinya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok