Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Reshuffle Ditunda, Rocky Gerung: Prabowo Tak Bisa Lepas dari Bayang-Bayang PDIP

Rocky Gerung Soroti Evaluasi dan Tunggu Langkah Radikal Prabowo-Gibran di  100 Hari Pemerintahan

Repelita Jakarta - Di pagi yang senyap, ketika televisi menyala tanpa suara dan lembaran koran menampilkan gejolak di berbagai penjuru negeri, Presiden Prabowo Subianto duduk dalam keheningan yang hanya dimiliki oleh mereka yang memegang kendali.

Kendali atas pemerintahan, atas narasi di ruang publik, bahkan atas waktu yang terus berjalan.

Kini waktu menjadi alat paling tajam di tangannya.

Bukan reshuffle.

Bukan orasi di mimbar.

Bukan koalisi gemuk.

Melainkan waktu—yang ditahan, diputar, dan dimainkan layaknya pion-pion dalam pertandingan strategi politik.

Sementara itu, suara dari luar Istana mulai meninggi.

Dari pabrik-pabrik yang lengang, dari percakapan di grup buruh, hingga warung kopi mahasiswa, keresahan mulai tumbuh.

PHK membayangi.

Peluang kerja seperti fatamorgana.

Menteri-menteri berjalan seperti tak terusik.

Rocky Gerung, dalam salah satu unggahan kanal YouTube-nya, menyuarakan pandangannya.

Koalisi dalam kebuntuan, PDIP masih menggantungkan sikap.

“Prabowo tidak mungkin reshuffle sebelum ada kesepakatan dengan Megawati,” ujar Rocky Gerung.

Menurutnya, posisi PDIP belum final.

Belum jelas apakah akan bergabung ke dalam pemerintahan atau tetap mengambil peran sebagai oposisi.

Kondisi ini membuat Prabowo memilih menahan langkah politiknya.

Sebab reshuffle tanpa sinyal dari Megawati dapat dianggap sebagai gerakan sepihak.

Risikonya bukan hanya pada hubungan personal, melainkan juga pada stabilitas koalisi besar pasca-Pilpres.

Di luar Istana, masyarakat tidak lagi sabar.

Rakyat tidak hidup dari kalkulasi kekuasaan.

Mereka hidup dari beras yang harganya melonjak, dari tagihan listrik dan cicilan yang menumpuk, dari keresahan yang makin sulit ditahan.

Dalam berbagai survei, isu ekonomi menempati puncak kegelisahan.

Pemutusan hubungan kerja makin banyak terjadi di sektor industri.

Kesempatan kerja baru justru menghilang.

Ketimpangan makin mencolok di depan mata.

Publik mulai bertanya: kapan para menteri yang gagal akan diganti?

Namun pertanyaan itu seperti menggema dalam lorong kosong.

Tidak terdengar jawaban dari arah Istana.

Rocky menyebut, “Prabowo merasa kabinetnya solid, padahal ada keresahan rakyat yang nyata.”

Inilah jurang antara persepsi kekuasaan dan kenyataan sosial.

Di mata elite, stabilitas adalah segalanya.

Selama Senayan dan Istana tenang, pemerintah dianggap aman.

Namun rakyat melihatnya dari sisi yang berbeda.

Yang menganga hari ini bukan hanya ketimpangan ekonomi.

Melainkan juga ketimpangan pemahaman antara penguasa dan yang dikuasai.

Kesenjangan ini bisa berubah menjadi krisis sosial jika terus dibiarkan.

Di tengah ketegangan itu, isu pemakzulan Gibran Rakabuming Raka mencuat.

Bukan dari aktivis radikal.

Namun justru dari para purnawirawan yang dulu mengabdi dengan seragam.

Surat terbuka soal pemakzulan menjadi tanda peringatan keras.

Isunya bukan hanya soal konstitusi, tapi juga tentang etika berdemokrasi.

Rocky menyebut, “Ini ekspresi kekecewaan terhadap cara demokrasi dijalankan.”

Ia menilai upaya pemakzulan adalah bentuk artikulasi politik yang sah.

Dalam demokrasi, ketidakpuasan harus mendapat saluran.

Jika tidak tersalurkan di parlemen, maka akan muncul di jalanan.

Isu Gibran mulai menjalar ke kampus-kampus dan kelompok masyarakat sipil.

Diskusi terbuka mulai digelar.

Forum-forum mulai terbentuk.

Spanduk protes sudah mulai dibentangkan.

Menurut Rocky, ini bukan gelombang biasa.

Ketika suara moral para purnawirawan berpadu dengan suara sipil, legitimasi kekuasaan bisa diguncang dari dasar.

Gibran kini bukan sekadar tokoh.

Ia telah menjadi simbol luka demokrasi.

Putra presiden yang menduduki kursi wakil presiden tanpa pertarungan yang setara menjadi cermin cacat dalam sistem politik kita.

Di tengah gejolak ini, Prabowo masih enggan melakukan perombakan kabinet.

Bukan karena tak tahu siapa yang harus diganti.

Namun karena suhu politik belum stabil.

Rocky menyebut, “Kalau reshuffle dilakukan saat isu Gibran memanas, justru bisa memicu krisis politik baru.”

Strategi Prabowo tampaknya adalah menunggu hingga badai mereda.

Namun publik tak bisa menunggu terlalu lama.

Janji perubahan tak bisa terus digantung.

Jika dibiarkan, kepercayaan bisa perlahan-lahan menghilang.

Gibran kini menjadi termometer suhu politik nasional.

Ia adalah titik ukur antara kekuasaan dan etika.

Setiap langkah soal dirinya akan diuji: apakah Prabowo akan tetap melindunginya, atau membaca suara rakyat dan mengambil jarak?

Posisi Gibran kini menjadi ujian moral pemerintahan.

Rocky mengingatkan, “Prabowo bisa saja kuat secara formal, tapi legitimasi moral ditentukan oleh rakyat.”

Dalam sejarah, kekuasaan bisa runtuh bukan karena kalah di parlemen, tapi karena kehilangan simpati rakyat.

Dan itu bisa terjadi tanpa keributan—cukup dengan diam yang menggema.

Hari ini, reshuffle bukan hanya perkara jabatan.

Ia adalah cermin: apakah kekuasaan masih mau mendengar suara rakyat? (*)

Editor: 91224 R-ID Elok

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

ads bottom

Copyright © 2023 - Repelita.com | All Right Reserved