Repelita Jakarta - Presiden Prabowo Subianto menyinggung istilah state capture saat menyampaikan pidato di hadapan Presiden Rusia Vladimir Putin dalam forum internasional SPIEF.
Dalam pidatonya, Kepala Negara mengulas berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia, termasuk bahaya kolusi antara elite politik dan pemilik modal yang justru memperlebar jurang kesejahteraan.
Presiden menyebut, praktik semacam itu tak mengurangi kemiskinan, melainkan hanya memperluas kelompok kelas menengah.
Ia menegaskan pentingnya membentuk pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktik korupsi.
State capture, menurut kajian Bank Dunia dalam laporan berjudul Seize the State, Seize the Day, merupakan bentuk korupsi sistemik yang dilakukan oleh pelaku usaha besar melalui pengaruh terhadap kebijakan negara.
Pengaruh itu tidak selalu melalui suap terang-terangan, melainkan dengan menanamkan kekuasaan melalui regulasi yang dibuat demi keuntungan sendiri.
Dalam sistem seperti itu, perusahaan baru sulit bersaing dan cenderung ikut terlibat membayar pejabat untuk memperoleh keuntungan serupa.
Praktik ini menciptakan kerugian sosial, memperkuat monopoli, serta memperlambat reformasi dan pertumbuhan ekonomi yang sehat.
Reformasi yang dibutuhkan bukan hanya soal pemberantasan suap, tapi juga mendorong keterbukaan, akuntabilitas politik, dan mendorong persaingan yang adil.
Namun tantangan besar tetap membayangi, karena kepentingan ekonomi dan politik yang telah lama mengakar menjadikan proses ini rumit dan panjang.
KPK juga memasukkan state capture sebagai bagian dari kategori megakorupsi.
Dalam klasifikasi berdasarkan dampak dan eksposur, korupsi dibagi menjadi petty corruption, grand corruption, dan political corruption.
Grand corruption adalah korupsi bernilai sangat besar, melibatkan elit politik atau pengambil kebijakan, serta berdampak luas terhadap masyarakat.
KPK menyebut ada empat indikator grand corruption, yakni keterlibatan pembuat kebijakan, aparat penegak hukum, dampak nasional, dan sifat sistemik.
State capture muncul dari kongkalikong antara pelaku usaha dan para pengambil keputusan untuk mengatur kebijakan demi kepentingan mereka.
Contoh nyata dari praktik megakorupsi adalah kasus proyek e-KTP yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun dan melibatkan tokoh besar seperti Setya Novanto.
Lembaga Transparency International menilai megakorupsi bukan sekadar kejahatan ekonomi, tapi juga pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Pernyataan ini ditegaskan oleh Wuryono Prakoso dari KPK yang menyebut bahwa korupsi e-KTP telah melanggar hak masyarakat untuk memiliki identitas resmi.
Demikian juga dengan korupsi bansos yang mencederai hak rakyat untuk bertahan hidup di tengah krisis.
Dampaknya bukan hanya merusak sistem, tapi juga menghancurkan jaminan dasar bagi warga negara. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok