Repelita Sinjai - Rencana pembukaan tambang emas di sejumlah kecamatan Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan memunculkan gelombang penolakan dari warga dan kelompok pemuda.
Penolakan tersebut dianggap sebagai bentuk respons rasional atas ancaman terhadap lingkungan dan ruang hidup masyarakat.
Akademisi Universitas Negeri Makassar, Ferdhiyadi, menjelaskan bahwa protes warga bukan semata-mata penolakan terhadap pembangunan, melainkan reaksi terhadap bahaya ekologis yang mengintai.
Menurutnya, dalam perspektif sosiologi lingkungan, gerakan tersebut merupakan ekspresi kesadaran kolektif untuk menjaga relasi ekologis yang telah terbangun lama.
Ia mencontohkan penolakan tambang emas di Bonto Katute pada tahun 2012 yang digerakkan oleh Gertak sebagai bagian dari memori ekologis yang kini kembali diperkuat oleh generasi muda.
Ferdhiyadi menyebut bahwa masyarakat telah membentuk relasi ruang yang sangat erat, sehingga kehadiran pertambangan dianggap mengganggu tatanan tersebut.
Mengutip pandangan David Harvey, ia menekankan bahwa pertambangan sering kali menjadi bagian dari akumulasi kapital yang merampas hak-hak masyarakat atas tanah dan sumber daya.
Menurut Harvey, proses ini dikenal sebagai accumulation by dispossession, di mana pembangunan justru dilakukan dengan cara mencabut akses komunitas terhadap alam mereka sendiri.
Ferdhiyadi menyebut bahwa alih-alih menghadirkan kesejahteraan, pertambangan dapat menjadikan warga sebagai korban dari sistem yang eksploitatif.
Ia juga mengutip Ulrich Beck yang menyatakan bahwa masyarakat modern menciptakan risiko ekologis yang sistemik dan tak terdistribusi secara adil.
Risiko tersebut tidak hanya mencakup kerusakan alam, tetapi juga konflik sosial, krisis air, dan hilangnya rasa aman terhadap masa depan.
Ia mengingatkan bahwa wilayah Sinjai sebelumnya telah mengalami banjir besar pada tahun 2006, yang menunjukkan betapa rentannya daerah tersebut terhadap bencana lingkungan.
Dalam situasi ini, menurutnya, suara penolakan warga justru menunjukkan adanya pengetahuan ekologis yang sah dan berakar pada pengalaman hidup nyata.
Ia menegaskan bahwa pembangunan yang adil tidak cukup jika hanya berpijak pada aturan atau pertimbangan teknis semata.
Partisipasi warga harus menjadi unsur utama dalam setiap rencana pembangunan, termasuk proyek tambang.
“Penambangan harus melibatkan masyarakat sebagai subjek pengetahuan—bukan objek proyek. Maka, penolakan warga harus dibaca sebagai bentuk kepedulian terhadap keberlanjutan hidup, bukan sebagai sikap anti terhadap pembangunan,” ujar Ferdhiyadi. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok