Repelita Jakarta - Pemerintah diminta lebih ketat dalam mengawasi izin pertambangan di pulau-pulau kecil wilayah Raja Ampat seperti Pulau Kawe dan Pulau Manuran.
Permintaan itu disampaikan Wakil Ketua Komisi VII DPR Evita Nursanty yang menilai eksploitasi tambang di kawasan sensitif tersebut dapat merusak aset strategis yang jauh lebih bernilai secara sosial dan ekonomi.
Evita menegaskan bahwa program hilirisasi mineral tidak seharusnya dijalankan dengan mengorbankan kelestarian alam yang memiliki nilai jangka panjang.
“Kan jadinya justru ironi. Indonesia jualan hilirisasi di forum-forum internasional, tapi di lapangan, kita justru menambang di tempat yang mestinya kita jaga mati-matian. Ini bukan cuma kelalaian, tapi menjadi langkah yang tidak tepat,” katanya, Rabu 11 Juni 2025.
Berdasarkan laporan Greenpeace, aktivitas pertambangan nikel di tiga pulau kecil Raja Ampat telah merusak lebih dari 500 hektare hutan dan tumbuhan khas kawasan itu.
Evita mengatakan kerusakan tersebut berdampak serius terhadap masa depan sektor pariwisata Raja Ampat yang selama ini telah menjadi andalan perekonomian warga lokal.
“Raja Ampat itu bukan cuma kebanggaan Papua, tapi brand internasional yang jauh lebih bernilai dari sekadar ekspor feronikel. Bukan soal sentimental, ini soal nilai ekonomi jangka panjang,” ujarnya.
Ia menilai pemerintah saat ini terlalu mendorong industrialisasi tambang tanpa memperhitungkan dampak ekologi dan nilai jangka panjang kawasan.
Evita mengingatkan bahwa sektor wisata Raja Ampat pada tahun 2020 menyumbang sekitar 15 persen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau lebih dari Rp7 miliar.
"Kalau kita ukur jujur, berapa banyak devisa yang masuk dari retribusi wisata, homestay lokal, dan kunjungan turis asing? Bahkan di tengah pandemi sekalipun, sektor ini masih menyumbang Rp7 miliar lebih ke PAD,” terangnya.
“Jangan dipertaruhkan demi proyek tambang yang bisa jadi hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu,” tutupnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok