Repelita Banda Aceh - Anggota DPD RI asal Aceh, Azhari Cage, dengan tegas menolak tawaran pengelolaan bersama terhadap empat pulau yang kini menjadi sengketa antara Aceh dan Sumatera Utara.
Ia menyebut usulan itu sebagai hal yang tak masuk akal dan sangat merugikan Aceh.
“Hanya orang gila yang mau kelola bersama,” ujar Azhari Cage, Kamis (12/6/2025).
Menurutnya, perubahan status kepemilikan pulau-pulau tersebut diduga dilakukan sepihak oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian.
Empat pulau yang dimaksud adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil.
Keempatnya, kata Azhari, secara sah dan historis merupakan bagian dari wilayah Aceh Singkil.
Ia menegaskan bahwa Aceh memiliki bukti administratif lengkap atas kepemilikan pulau tersebut.
“Jelas-jelas milik Aceh kok kelola bersama? Hanya orang gila saja yang mau kelola punya kita dengan orang lain,” ucapnya lagi.
Senator itu mendesak Pemerintah Aceh untuk bersikap tegas terhadap Pemerintah Provinsi Sumut dalam mempertahankan wilayah tersebut.
Ia menyatakan bahwa empat pulau itu merupakan marwah dan simbol harga diri rakyat Aceh.
“Empat pulau tersebut harus diambil dan kembali ke wilayah Kabupaten Aceh Singkil,” katanya.
Azhari mengungkapkan salah satu bukti kuat berupa surat tanah bertanggal 17 Juni 1965.
Surat itu dikeluarkan oleh Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Aceh kepada Teuku Daud bin T Radja yang saat itu berstatus warga Aceh Selatan.
Ketika itu, wilayah Singkil memang masih bergabung dengan Aceh Selatan.
Selain itu, ada pula kesepakatan formal antara Pemda Sumut dan Pemerintah Aceh pada 10 September 1988.
Kesepakatan lanjutan juga pernah ditandatangani oleh Gubernur Sumut, Raja Inal Siregar, dan Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan, pada 22 April 1992.
Keduanya dilakukan di bawah pengawasan Menteri Dalam Negeri saat itu, Rudini.
Menurut Azhari, semua bukti tersebut menunjukkan bahwa klaim Aceh atas empat pulau tersebut sah dan tidak bisa dibantah.
Ia pun meminta Pemerintah Aceh menggugat keputusan Mendagri yang menetapkan empat pulau itu masuk wilayah Sumut.
Eks kombatan GAM itu menyerukan agar masyarakat Aceh tidak tinggal diam menghadapi apa yang ia sebut sebagai tindakan sewenang-wenang dari pemerintah pusat.
“Masak pulau milik kita malah diajak kelola bersama oleh orang lain. Pulau itu milik kita marwah dan harga diri kita,” tegasnya.
Sementara itu, Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Sumut memberikan pandangan berbeda terkait polemik ini.
Wakil Ketua Bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Ahmad Kennedy Manullang, menyatakan dukungan terhadap kolaborasi antara Pemprov Sumut dan Aceh.
Menurutnya, pengelolaan bersama dapat memberi manfaat luas bagi masyarakat di kedua provinsi.
Ia menilai selama ini masyarakat Aceh dan Sumut hidup berdampingan dalam harmoni.
Karena itu, ia mengajak semua pihak menjaga suasana tetap kondusif dan tidak mudah terpancing provokasi.
“Jangan sampai peralihan 4 pulau ini merusak keharmonisan yang sudah terjalin erat,” ujar Ahmad Kennedy.
Ia menambahkan bahwa keputusan pengalihan wilayah adalah wewenang pemerintah pusat.
Menurutnya, semua pihak yang tidak setuju bisa menyalurkan protes dengan cara yang tepat.
Ahmad menilai yang terpenting saat ini adalah memastikan pembangunan di empat pulau tersebut berjalan dengan visi yang terukur.
Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara dua pemerintah provinsi.
“Kita jaga persaudaraan, kita jaga persatuan dan kesatuan,” ujarnya.
Ia mengimbau agar konflik ini tidak dibalas dengan emosi dan ego sektoral, melainkan dengan niat bersama membangun wilayah tersebut.
“Daripada kita menggali sentimen daerah, lebih baik kita berkolaborasi membangunnya,” tutupnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok