Repelita Jakarta - Persoalan batas wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara kembali memantik perhatian publik.
Empat pulau yang kini secara administratif masuk wilayah Sumatera Utara menjadi inti dari sengketa.
Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Kecil sebelumnya berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Singkil, namun kini diklaim sebagai bagian dari Tapanuli Tengah, Sumut.
Langkah pemerintah pusat melalui dua Kepmendagri, yakni tahun 2022 dan 2025, disebut menjadi dasar penggeseran batas secara administratif.
Guru Besar Hukum Prof Henry Indraguna menyatakan dukungannya terhadap evaluasi penuh yang akan dilakukan Presiden Prabowo Subianto terkait konflik tersebut.
Prof Henry yang juga Penasehat Ahli Balitbang DPP Golkar menilai keputusan Kemendagri tanggal 25 April 2025 yang mendukung klaim Bobby Nasution perlu dikaji ulang.
Ia mengingatkan, setiap pihak kini saling mengklaim kepemilikan atas pulau-pulau itu, yang dapat memicu konflik sosial dan kebingungan hukum di lapangan.
“Setiap pihak mengklaim keempat pulau itu sebagai bagian dari wilayahnya. Ini bisa menimbulkan kerancuan tata kelola, konflik horizontal, dan ketidakpastian hukum,” ucap Henry.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa Aceh memiliki dasar hukum kuat atas wilayah sengketa.
Helsinki Accord tahun 2005 yang dilanjutkan melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memberi Aceh kewenangan khusus atas pengelolaan wilayah laut hingga 12 mil.
Prof Henry mengutip Pasal 4 dan 7 UUPA sebagai bukti sahih kepemilikan Aceh atas pulau-pulau di sekitarnya.
Ia mendorong pemerintah pusat untuk meninjau kembali Kepmendagri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah.
“Penyelesaian harus menyentuh aspek hukum, politik, dan integritas NKRI, dengan tetap menghormati MoU Helsinki sebagai acuan batas administrasi sejak 1 Juli 1956,” jelas Henry.
Menurutnya, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menjadi mediator perdamaian Aceh juga dapat dijadikan referensi penting untuk mendamaikan sengketa ini. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok