Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Kajian Yuridis Proses Persidangan Hukum Acara Perdata dalam Kasus Ijazah Palsu Ditinjau dari Asas-asas Hukum Acara Perdata di Indonesia



KAJIAN YURIDIS PROSES PERSIDANGAN HUKUM ACARA PERDATA DALAM KASUS IJAZAH PALSU DITINJAU DARI ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA

(Juridical study of civil procedural law in the case of fake diplomas seen from the perspective of the principles of civil procedural law in indonesia)

Muhammad Rizky SM

rizky.tridono@gmail.com

Abstrak

Hukum acara perdata merupakan mekanisme penyelesaian sengketa antar para subjek hukum dalam hal keperdataan. Dan pada dasarnya dalam mempelajari ilmu Hukum Acara Perdata berarti kita membicarakan Hukum Formil dalam perdata itu sendiri. Di dalam Hukum Acara Perdata itu sendiri, terdapat Asas-Asas Hukum Acara Perdata yaitu Hakim bersifat menunggu, Hakim bersifat pasif, Persidangan terbuka untuk umum, Audi et Alteram Partem (memperlakukan adil), Putusan Harus Disertai Alasan, Beracara Dikenakan Biaya, Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan, Asas Bebas Dari Campur Tangan Pihak Di Luar Pengadilan. Namun dalam faktanya tidak jarang proses beracara perdata di Indonesia, Hakim sebagai Pengambil Keputusan di dalam Proses Beracara Perdata, itu cenderung menggunakan Subyektifitas hakim di dalam menjatuhkan putusannya yang tidak sesuai dengan Asas-Asas Hukum Acara Perdata itu sendiri. Hal ini terjadi di dalam Proses Acara Perdata Kasus Ijazah Palsu, yang menunjukan tidak adannya Audi et Alteram Partem (memperlakukan adil), Hakim Bersifat Pasif, dan Bebas Dari Campur Tangan Pihak Di Luar Pengadilan, serta putusan harus disertai alasan. Dan di dalam Penelitian ini kami mencoba untuk mengkaji salah satu permasalahan yang terjadi saat ini yaitu tentang gugatan mengenai Ijazah palsu seorang tergugat. Dan Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) diterapkan dalam penyelesaian permasalahan yang ada.

Kata Kunci : Asas-Asas Hukum Acara Perdata, Audi et Alteram Partem, lijdelijkeheid van rechter, motivering plicht-voeldoende gemotiveerd, Ijazah Palsu

Abstract

Civil procedural law is a dispute resolution mechanism between legal subjects in civil matters. And basically in studying the science of Civil Procedure Law means we talk about Formil Law in civil itself. In the Civil Procedure Law itself, there are Basic Principles of Civil Procedure Law, namely Judges are waiting, Judges are passive, Trials are open to the public, Audi et Alteram Partem (treating fairly), Decisions Must Be Accompanied by Reasons, Proceedings Are Charged, Simple, Fast and Light Costs, The Principle Is Free From Interference From Parties Outside The Court. However, in fact, it is not uncommon for civil proceedings in Indonesia, Judges as Decision Makers in Civil Procedure Proceedings, tend to use the subjectivity of judges in handing down decisions that are not in accordance with the Principles of Civil Procedure Law itself. This happened in the Civil Procedure Process of the Fake Certificate Case, which showed the absence of Audi et Alteram Partem (treat fairly), judges are passive, and free from interference from parties outside the court, and decisions must be accompanied by reasons. And in this study we tried to examine one of the problems that occur today, namely about claims about a fake diploma . And the research method used is a normative legal research method using a statutory approach (statute approach) applied in solving existing problems.

Keywords : Principles of Civil Procedure Law, Audi et Alteram Partem, Fake Diplomas, lijdelijkeheid van rechter, motivering plicht-voeldoende gemotiveerd


A.     PENDAHULUAN

Pada dasarnya hukum acara perdata merupakan peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara mempertahankan dan memelihara hukum perdata materiil. Hukum Acara Perdata juga diartikan sebagai suatu peraturan yang mengatur bagaimana cara untuk mengajukan suatu perkara perdata ke pengadilan dan juga mengatur bagaimana cara hakim perdata memberikan putusan terhadap subjek hukum.

Dan Menurut fungsinya, hukum perdata dibedakan menjadi hukum perdata materiil dan hukum perdata formil atau hukum acara. Hukum Perdata Formil adalah Himpunan peraturan hukum yang bersifat memaksa untuk mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan (hakim) yang berfungsi untuk Mempertahankan, menjamin dan melaksanakan hukum perdata materiil, dengan kata lain hukum perdata materiil itu dipertahankan dan dijamin oleh alat-alat penegak hukum berdasarkan hukum acara perdata. Sedangkan Pengertian Hukum Perdata Materil lazim disebut Hukum Perdata yang pengertianya adalah keseluruhan kaidah hukum yang menentukan dan mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata.

Oleh karena itu eksistensi hukum acara perdata sangat penting dalam kelangsungan ketentuan hukum perdata materil. Dan adapun pengertian Hukum Acara Perdata atau Perdata Formill menurut para ahli ilmu hukum :

Menurut Wirjono Prodjodikoro Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.[1]

Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertukusumo, SH Memberi batasan hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata material dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menetukan bagaimana caranyamenjamin pelaksanaan hukum perdata material. Lebih kongkrit lagi dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya, dan pelaksanaan dari pada putusannya.[2]

Abdul Kadir Muhammad “Hukum acara perdata sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan (hakim), sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.[3]

R. Subekti berpendapat hukum acara itu mengabdi kepada hukum materiil, maka dengan sendirinya setiap perkembangan dalam hukum materiil itu sebaiknya selalu diikuti dengan penyesuaian hukum acaranya. Abdul Kadir Muhammad “Hukum acara perdata sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan (hakim), sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim”.[4]

Dan hukum acara perdata itu sendiri dibuat bertujuan untuk mencegah adannya tindakan main hakim sendiri sehingga akan tercipta suasana tertib hukum di dalam kehidupan bermasyarakat. Peradilan memberikan perlindungan hukum kepada subjek hukum untuk mempertahankan hak-haknya sehingga mencegah perbuatan main hakim sendiri dan perbuatan sewenang-wenang. Dan mengingat bahwa hukum acara perdata bersifat mengikat dan memaksa, maka ketentuan-ketentuan serta asas-asas yang berlaku dalam hukum acara perdata juga bersifat mengikat dan tidak boleh disimpangi. Terdapat beberapa asas dalam hukum acara perdata, antara lain asas dasar utama yang penting dalam hukum acara perdata Indonesia yaitu Audi et Alteram Partem (memperlakukan adil), Putusan Harus Disertai Alasan, Beracara Dikenakan Biaya, Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan, Asas Bebas Dari Campur Tangan Pihak Di Luar Pengadilan.

ketika berbicara mengenai Hukum Acara Perdata Indonesia, hingga Saat ini dalam menyelesaikan suatu sengketa perdata di pengadilan masih berpedoman pada hukum acara perdata hasil peninggalan kolonial yang berdasarkan asas konkordansi, sistem hukum acara perdata Indonesia masih mengadopsi hukum acara perdata dari Belanda. Dan sumber hukum acara perdata adalah tempat di mana dapat ditemukannya ketentuan-ketentuan hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia. Berikut Pengaturan hukum acara perdata di Indonesia, Sumber Hukum Acara Perdata terdiri dari :

1.      Sumber Hukum Perdata Materiil, yaitu suatu bahan atau sumber bahan disusunnya suatu norma hukum. Sumber Hukum Materil, meliputi sumber dalam arti sumber filosofis, sumber dalam arti sumber yuridis, sumber dalam arti sumber historis dan sumber dalam arti sumber sosiologis.[5]

2.      Sumber Hukum Perdata Formil, yaitu sumber yang dapat dijadikan norma hukum dan menjadi dasar yuridis suatu hubungan hukum atau peristiwa hukum tertentu. Sumber Hukum Formil dibedakan lagi menjadi dua yaitu: Sumber hukum tertulis, yaitu Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) diatur dlm S.1848 No. 16, S.1941 No. 44 & Reglement Buitengewesten (Rbg) diatur dlm S.1927 No. 227, berlaku berdasarkan Ps. 5 ayat 1 UU Dar. 1 Tahun 1951. Reglement op de Burgerlijke rechtsvordering Rv) atau Reglemen hukum acara perdata untuk golongan Eropa (S. 1847 No. 52, 1849 No. 63. Reglement opde Rechterlijke Organisatie in het beleid der Justitie in Indonesie (RO) S.1847 no. 23. BW buku IV dan selebihnya tersebar dlm Burgerijk Wetboek (BW), Wetboek van Kophandel (WvK) dan Peraturan Kepailitan. Dan Sumber Hukum tidak tertulis, yaitu: Yurisprudensi, Doktrin dan Kebiasaan.

 

B.      METODE PENELITIAN HUKUM

Dalam Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. Dan Metode yang digunakan dalam Jurnal ini adalah Metode Penelitian Hukum Normatif, dan Metode Penelitian Hukum Normatif ini merupakan penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana. Dan dalam penelitian hukum ini kami juga menggunakan Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach), yaitu pendekatan pembaruan hukum acara perdata secara umum dalam kerangka sistem peraturan yang dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani

 

C.      RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan Judul dan Latar belakang diatas maka kami merumuskan satu permasalahan sebagai berikut :

“Bagaimana seorang Hakim bisa memutuskan suatu perkara tanpa adannya bukti yang otentik dalam proses peradilan hukum acara perdata dalam perkara ijazah palsu dipandang dari Asas-Asas Hukum Acara Perdata ?”

 

D.     PEMBAHASAN

1.      Hukum Acara Perdata

Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum perdata formil yang digunakan untuk mempertahankan keberlangsungan hukum perdata materiil dalam hal adanya tuntutan hak.[6] Sedangkan hukum perdata materiil adalah keseluruhan kaidah hukum yang mengatur dan menentukan hak-hak dan kewajiban perdata. Hukum formil tersebut merupakan peraturan hukum yang berisi ketentuan untuk menjamin dan terlaksananya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. Selain itu, hukum acara perdata juga mengatur tata cara mengajukan tuntutan hak, memeriksa, memutuskan dan melaksanakan putusan. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eigenrichting atau tindakan menghakimi sendiri. Tindakan menghakimi sendiri merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan sehingga akan menimbulkan kerugian. Oleh karena itu tindakan main hakim sendiri ini tidak dibenarkan jika kita hendak memperjuangkan atau melaksanakan hak kita. Perkataan ”acara” di sini berarti proses penyelesaian perkara lewat hakim (pengadilan) proses penyelesaian perkara lewat hakim itu bertujuan untuk memulihkan hak seseorang yang merasa dirugikan atau terganggu, mengembalikan suasana seperti dalam keadaan semula bahwa setiap orang harus mematuhi peraturan hukum perdata supaya peraturan hukum perdata berjalan sebagaimana mestinya.

Secara teologis, dapat dirumuskan bahwa hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang berfungsi untuk mempertahankan dan memberlakunya hukum perdata Karena tujuannya untuk meminta keadilan melalui hakim, hukum acara perdata dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata lewat hakim (pengadilan) sejak dimajukannya gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.

Dalam peraturan hukum acara perdata itu, diatur bagaimana cara orang mengajukan perkaranya kepada hakim (pengadilan), bagaimana caranya pihak yang terserang itu mempertahankan diri, bagaimana hakim bertindak terhadap pihak-pihak yang berperkara, bagaimana hakim memeriksa dan memutus perkara sehingga perkara dapat diselesaikan secara adil, sehingga hak dan kewajiban orang sebagaimana telah diatur dalam hukum perdata itu dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dengan adanya peraturan hukum acara perdata itu, orang dapat memulihkan kembali haknya yang telah dirugikan atau terganggu itu lewat hakim dan akan berusaha menghindarkan diri dari tindakan main hakim sendiri. Dengan lewat hakim, orang mendapat kepastian akan haknya yang harus dihormati oleh setiap orang, misalnya hak sebagai ahli waris, hak sebagai pemilik barang, dan lain-lain. Dengan demikian, diharapkan selalu ada ketenteraman dan suasana damai dalam hidup bermasyarakat.

Wirjono Prodjodikoro merumuskan, hukum acara perdata itu sebagai rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan serta cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.[7] Hukum acara perdata dapat juga disebut hukum perdata formil karena mengatur proses penyelesaian perkara lewat hakim (pengadilan) secara formil. Hukum acara perdata mempertahankan berlakunya hukum perdata.[8]

Apabila kita membaca literatur-literatur tentang hukum acara perdata, kita akan menemui beberapa macam pengertian hukum acara perdata dari para pakar ilmu hukum (sarjana) yang satu sama lain memiliki perumusan yang berbeda-beda. Tetapi hal tersebut mengandung tujuan yang sama.[9]

2.      Asas-Asas Hukum Acara Perdata

Seperti halnya dengan hukum-hukum pada bidang yang lain, hukum acara perdata juga mempunyai beberapa asas yang menjadi dasar dari ketentuan-ketentuan dalam hukum acara perdata tersebut. Berikut ini beberapa asas penting dalam hukum acara perdata.

a)      Hakim Bersifat Pasif (lijdelijkeheid van rechter).

Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim didalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan cepat sederhana dan biaya ringan (pasal 4 ayat (2) UU No. 48/2009).[10]

Di dalam kasus ijazah palsu dengan terdakwa yang berinisial BT sebagai pelapor dalam proses beracara perdata ini, hakim terlihat tidak bersikap pasif, hal ini dapat dilihat dari Putusan Hakim dalam perkara ijazah palsu ini yang bersifat sangat Subyektif, disini terlihat peran hakim sangat dominan dalam menjatuhkan vonis bersalah kepada pihak penggugat (pelapor). Dimana terdakwa BT sebagai pelapor dalam kasus ijazah palsu ini, tidak diberikan Jaminan Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusianya sebagaimana diatur dalam Konstitusi RI kita Pasal 27 Ayat 1 yang menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukanya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Dan juga tidak sesuai dengan pasal 28D konstitusi yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, serta bertentangan dengan Asas kemerdekaan mengemukakan pendapat di muka umum dalam pasal 28E ayat (3) yang berbunyi setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Dari kajian yuridis berdasarkan konstitusi dan Asas-Asas Hukum Acara Perdata di Indonesia ini, bisa kita simpulkan bahwa sikap hakim dalam perkara Ijazah palsu dengan terdakwa BT, tidak sesuai dengan Asas-Asas Hukum Acara Perdata Hakim bersifat Pasif.

b)     Audi et Alteram Partem (memperlakukan adil)

Asas ini tercermin dalam pasal 4 ayat (1) UU No. 48/2009, pasal 145 dan 157 RBg, pasal 121 dan 132 HIR. Pengadilan harus memperlakukan kedua belah pihak sama, memberi kesempatan yang sama kepada para pihak untuk memberi pendapatnya dan tidak memihak. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Pengadilan tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.

Dalam Kasus Ijazah Palsu ini, BT sebagai Pelapor dan sekaligus sebagai terdakwa telah memberikan kesaksian dan alat bukti yang cukup lengkap dan sah sebagaimana yang disampaikan kuasa hukumnya bahwa :

"Keterangan saksi ahli, dan saksi fakta dari kami sudah cukup. Kami punya fotocopy lengkap ijazah SD, SMP, SMA terlegalisir. Kami yakin bisa membuktikan perkara ini,". Kemudian Penasehat Hukum terdakwa berinisial E, mengatakan bahwa jaksa juga tidak bisa membuktikan dakwaannya karena tak bisa menunjukkan ijazah Asli tergugat. Selain itu, dari 22 saksi yang dihadirkan dianggap tak pernah melihat ijazah asli dari pihak tergugat.

Namun dari fakta Persidangan Kasus ijazah palsu tersebut diatas hakim justru memutuskan bahwa penggugat (pelapor) menyebarkan berita bohong dan didakwa membuat kekacauan di dalam kehidupan masyarakat. Dari fakta-fakta persidangan Ijazah palsu diatas, menunjukan bahwa Hakim berlaku tidak adil yaitu cenderung lebih melindungi dan mengutamakan kepentingan dari pihak tergugat karena jabatan dan kedudukanya di dalam Pemerintahan RI kita.

c)      Asas Bebas Dari Campur Tangan Pihak Di Luar Pengadilan

Hakim dituntut sungguh-sungguh mandiri. Hakim mempunyai otonomi yang selalu harus dijaga agar proses peradilan berjalan menuju sasaran: peradilan yang obyektif, fair, jujur dan tidak memihak. Hakim tidak boleh terpengaruh oleh hal-hal di luar pengadilan, seperti pengaruh uang, pengaruh kekerabatan, pengaruh kekuasaan dan lain sebagainya. Dalam kasus ijazah palsu dengan tergugat pejabat negara di Pemerintahan Republik Indonesia dan memegang jabatan strategis di dalam pemerintahan Republik Indonesia, terlihat adannya campur tangan dari pihak diluar pengadilan yang memiliki kekuasaan penuh dan kuat, sehingga hakim bisa melakukan satu tindakan yang subyektif dan berpihak pada kekuasaan itu.

Dan hal ini bisa kita lihat dalam proses beracara perdata dalam kasus Ijazah Palsu itu sendiri dengan penggugat berinisial BT dan GN, dinyatakan telah melanggar Pasal 156a huruf a KUHP tentang penistaan agama; Pasal 45a ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

BT terkena pasal tentang ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan. Kemudian, Pasal 14 ayat 1 ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana tentang penyebaran pemberitaan bohong sehingga menimbulkan keonaran di masyarakat. Namun semua dakwaan ini bertentangan dengan Hak-Hak Asasi manusia milik Rakyat Indonesia yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi RI kita di dalam Pasal 27, 28A-J, 29, 30,31,33 dan 34 yang langsung mengatur tentang jaminan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, serta dijamin oleh Undang-Undang Hak Asasi Manusia kita dalam pasal 71 dan 72 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, dimana adalah kewajiban daripada Pemerintah adalah wajib dan bertanggung jawab, menghormati, menjamin, melindungi, menegakan, Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini serta diatur dalam instrument Hukum HAM Internasional yang mengikat diantaranya dalam Pasal 3,5,9,10,11 UDHR (Universal Declaration of Human Rights) atau Deklarasi Hak Asasi manusia (DUHAM), Peraturan Perundang-Undangan lain dan Hukum Internasional tentang Hak Asasi Manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia.[11] Berdasarkan Asas-Asas Legalitas diatas baik secara konstitusi maupun Asas dan Kaidah Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia kedua orang Penggugat dalam kasus Ijazah Palsu ini, tidak seharusnya hakim dalam proses pengadilan Ijazah palsu ini menjatuhkan Putusan Bersalah pada kedua penggugat Ijazah Palsu ini, karena kedua penggugat Ijazah Palsu ini sedang menjalankan Hak Asasi Political Right nya dalam hal ini mencari hak kepastian hukumnya dari Ijazah seorang pemegang Kekuasaan Pemerintahan Republik Indonesianya, apakah sudah sesuai dengan persyaratan dari Asas Legalitas kita terkait dengan jabatan di Pemerintahan Republik Indonesia kita. Dari penjabaran kajian yuridis berdasarkan Asas Legalitas di dalam Pemerintahan Republik Indonesia kita dan juga dikaitkan dengan Asas dan Kaidah dari HAM Nasional kita dan HI kita maka terlihat disini bahwa hakim pengadilan Kasus Ijazah Palsu ini mendapatkan intervensi (campur tangan dari pihak kekuasaan di dala pemerintahan RI kita). Dan hal ini jelas sangat bertentangan dengan Asas Bebas Dari Campur Tangan Pihak Di Luar Pengadilan.

d)     Putusan Harus Disertai Alasan (motivering plicht-voeldoende gemotiveerd).

Alasan tersebut dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim dari putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi, ilmu hukum sehingga oleh karenanya mempunyai nilai obyektif (Sudikno Mertokusumo, 1993: 14). Kewajiban mencantumkan alasan alasan ditentukan dalam pasal 195 RBg, Pasal 184 HIR, pasal 50 dqn 53 UU No. 48/2009, pasal 68 A UU No. 49/2009. Sebagaimana disebutkan dalam pasal :

Pasal 68 A UU No. 49/2009 menentukan :

1.      Dalam memeriksa dan memutus  perkara, Hakim harus bertanggungjawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.

2.      Penetapan dan putusan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar

Dalam kasus Ijazah Palsu ini penggugat BT dan GN yang sedang menjalankan Hak Political Rightsnya (Hak Politik)nya yaitu turut serta di dalam Pemerintahan RI nya yaitu mencari hak kepastian hukum dan keadilan hukumnya serta sedang menjalankan Hak Rights of Legal Equality nya, yang seharusnya berdasarkan konstitusi RI kita Pasal 27 dan Pasal 28A-J mendapatkan jaminan perlindungan dari pemerintahan Republik Indonesianya, dalam rangka menjalankan Asas di dalam Hukum Tata Negara dan Tata Pemerintahan RI kita, namun pada kenyataanya semua Hak-Hak Asasi Manusia para penggugat itu tidak diberikan, justru sebaliknya para penggugat yang sedang menjalankan political Rights dan Rights of Legal Equality nya (Hak Persamaan dalam hukum) di dalam Pemerintahan RI nya justru dicabut hak-hak asasi manusia kedua penggugat yaitu berupa putusan hakim menahan kedua penggugat (pelapor) sebagai pelaku tindak pidana menyebar berita Hoax dan membuat gaduh di dalam masyarakat. Berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan ijazah palsu yang melibatkan salah seorang Pemangku Jabatan penting di dalam Pemerintahan RI kita ini, terlihat bahwa sikap Hakim dalam menjatuhkan Putusan untuk menahan kedua Penggugat (pelapor) Ijazah palsu yang melibatkan salah seorang pejabat Pemerintahan RI kita (TOP GOVERNMENT) ini, tidak memiliki alasan Yuridis yang kuat dan bisa diterima secara Hukum segala Hukum yang saat ini berlaku di Indonesia. Padahal tugas utama Hakim sebagai pejabat negara mempunyai wewenang kekuasaan yang signifikan dalam pemerintahan. Mereka mengawasi prosedur persidangan yang diikuti, dengan tujuan untuk memastikan konsistens, ketidakberpihakan, dan juga penyalahgunaan wewenang. Selain itu hakim dapat memberikan perintah pada militer, Polisi, atau pejabat pengadilan agar proses penyelidikan berjalan dengan lancar. Perintah dapat berupa penggeledahan, penangkapan, pemenjaraan, gangguan, penyitaan, deportasi, dan tidak kriminal lainnya.

Hal ini juga menjadi pertanyaan bagi para penasehat hukum penggugat yang juga seorang pakar hukum tata negara di Indonesia juga menanyakan menambahkan apakah penahanan BT hanya sebagai alasan untuk mencabut perkara ataukah memang sedari awal para pengacaranya tahu bahwa bukti-bukti yang akan dihadirkan di sidang nantinya kurang meyakinkan.

Di sisi lain, pengacara menyayangkan pihak kepolisian memproses hukum terhadap penggugat BT, setelah gugatan ijazah palsu pejabat negara tersebut didaftarkan ke PN Jakarta Pusat. Walaupun penahanan ini tidak berkaitan dengan gugatan 'ijazah palsu pihak tergugat”, namun langkah itu mengesankan bahwa Hakim (Pemerintah) menggunakan kekuasaan bukan hukum dalam menghadapi BT. Kami memandang dengan tidak adanya putusan pengadilan atas kasus tersebut, gunjingan politik akan terjadi tanpa henti.

"Padahal putusan hukum yang inkracht van gewijsde dan menyatakan ijazah Tergugat asli atau palsu sangat penting, bukan saja untuk mengakhiri kontroversi politik mengenai soal itu, tetapi juga sangat penting untuk kepastian hukum agar kasus kontroversial ini berakhir dengan jelas

e)      Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan

Yang dimaksud dengan asas sederhana, cepat dan biaya ringan adalah hakim dalam mengadili suatu perkara harus berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan perkara dalam tempo yang tidak terlalu lama. H.Zainal Asikin menjelaskan ketiga kata itu sebagai antara lain sebagai berikut : Yang dimaksud dengan sederhana adalah acaranya jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Cepat menunjuk jalannya peradilan yang cepat dan proses penyelesaiannya tidak berlarut larut yang terkadang harus dilanjutkan oleh ahli warisnya. Sedangkan, biaya ringan maksudnya biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat.

DI dalam faktanya yang terjadi dalam proses sidang acara perdata dalam kasus ijazah palsu ternyata proses beracaranya tidak jelas dan sulit dipahami oleh pihak penggugat maupun masyarakat umum, yang menyaksikan proses persidangan Ijazah palsu itu sendiri serta penjelasan daripada saksi dari pihak tergugat terkesan berbelit-belit dan banyak memberikan kesaksian bohong/palsu dalam proses persidangan ijazah palsu yang melibatkan seorang pemegang kekuasaan di Pemerintahan Republik Indonesia kurun ini. Hal ini bisa terlihat dalam penjelasan penasihat hukum penggugat GN yang mengatakan :

"Kami sangat menyayangkan bahwa adanya putusan tersebut. GN dituntut divonis 6 tahun penjara," kata Kuasa Hukum GN, ADP, setelah sidang. Pengajuan banding ini, menyusul sejumlah anggapan tidak adanya keadilan yang ditujukan ke GN. "Tadi kami soroti adalah itu tidak sesuai dengan dengan hukum acara perdata dan banyaknya hukum acara pidana. Dan banyaknya kejanggalan-kejanggalan pada waktu persidangan. Saksi-saksi fakta yang berkata bohong dan lain sebagainya. (Itu) dijadikan dasar sebagai pertimbangan majelis hakim dan pastinya kami tadi dengan putusan tadi kami akan mengajukan banding”.

"Sebelum adanya persidangan putusan ini, ini kami juga mengira-ngira dengan adanya GN langsung ditahan, waktu penyidikan dan lain sebagainya itu yang kami soroti tidak sesuai dengan hukum acara perdata, hukum acara pidana dan banyaknya kejanggalan-kejanggalan. Pada persidangan saksi-saksi fakta yang berkata bohong dan lain sebagainya,".

"Itu dijadikan dasar sebagai pertimbangan majelis hakim dan pastinya kami tadi dengan putusan tersebut mengajukan banding," jelas dia. "Menurut kami Gus Nur tidak layak dan tidak pantas untuk dihukum walaupun satu hari saja demi keadilan di masyarakat," tandasnya.

Menurutnya sering sekali pasal-pasal tadi yang digunakan untuk menuntut GN sudah digunakan untuk menuntut orang-orang yang kritis di Indonesia. Contoh tadi yang pasal 14 ayat 1 dan 14 ayat 2 itu tentang Keonaran harusnya tidak terbukti.

"Karena keonaran pada 1946 itu tidak sama dengan keonaran yang ada di media sosial (medsos), tidak ada persamaan dengan komentar di medsos. Bisa saja komentar antara A dan B itu saling menghujat di medsos, tetapi begitu ketemu sebenarnya mereka baik-baik saja," papar dia.

Berdasarkan Fakta-Fakta Persidangan Hukum Acara Perdata dalam kasus Ijazah Palsu diatas terlihat bahwa Asas Sederhana dan Cepat yaitu Proses Beracaranya jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Dan menunjuk jalannya peradilan yang cepat dan proses penyelesaiannya tidak berlarut larut, itu tidak terpenuhi, sehingga hal ini menunjukan bahwa proses persidangan Hukum Acara Perdata di dalam Kasus Ijazah Palsu itu penuh pelanggaran & penyimpangan  terhadap Asas-Asas di dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia.

 

E.      KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan dan uraian dari latar belakang, Pendahuluan, Rumusan masalah, dan Pembahasan diatas kami menyimpulkan bahwa hakim dalam Proses Beracara Perdata di dalam Kasus Ijazah Palsu yang melibatkan salah satu Pejabat Pemerintahan Republik Indonesia yang memegang jabatan strategis di dalam pengambilan keputusan terkait dengan jalannya Tata Pemerintahan dan Tata Negara Republik Indonesia kita, tidak sesuai dengan Asas-Asas di dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia kita hal ini. Hal ini tampak di dalam proses beracara perdata dalam kasus Ijazah Palsu tersebut bertentangan dengan Asas Hakim Bersifat Pasif (lijdelijkeheid van rechter), Audi et Alteram Partem (memperlakukan adil), Asas Bebas Dari Campur Tangan Pihak Di Luar Pengadilan.

F.      SARAN

Terkait dengan masih banyaknya penyimpangan dan unsur subyektifitas dari seorang Hakim di dalam menjatuhkan Putusan-Putusan Pengadilan terkait dengan upaya Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia di Indonesia sebagai Negara Hukum yang menganut Asas Perlindungan terhadap HAM Nasional dan HI kita yang dijamin oleh konstitusi dan Declaration Of Universal PBB, maka perlu adannya pendidikan dan pengetahuan mengenai tentang Asas dan Kaidah Hak Asasi Manusia bagi seorang Hakim Pengambil keputusan dalam satu proses pengadilan di Indonesia. Hal ini ditujukan agar Upaya mewujudkan Supremasi Hukum dan HAM di wilayah Negara Republik Indonesia bisa terwujud dan bisa menjamin kebutuhan akan Perlindungan HAM Nasional dan Internasional Rakyat Indonesia kita di masa yang akan mendatang.

  

DAFTAR PUSTAKA

A.     Buku

Abdulkadir, M. (2000). Hukum Acara Perdata Indonesia . Bandung: Citra Aditya Bhakti.

Effendi, H. M. (1993). Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Mertukusumo, S. (1993). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Projodikoro, R. W. (1975). Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: Penerbit Sumur.

Riduan, S. (1988). Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan umum . Jakarta: Pustaka Kartini.

Subekti. (1997). Hukum Acara Perdata. jakarta: Bina Cipta.

 


[1] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia (Bandung: Sumur Bandung, 1975), hlm. 13.

[2] Sudikno Mertokusumo, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 2

[4] Subekti, Hukum Acara Perdata (Bandung: Penerbit Binacipta, 1977), hlm. 12.

[5] Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2015), hlm. 10.

[6] Sudikno Mertukusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2018), hlm. 2.

[7] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia (Bandung: Sumur Bandung, 1975), hlm. 13.

[8] Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1990), hlm. 16-18.

[9] Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum (Pustaka Kartini, 1988), hlm. 5.

[10] Op.cit hal. 11

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad


Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Repelita.com | All Right Reserved